(Ghost series #4)
Ada sepuluh pintu misterius di asrama terbengkalai dekat sekolah. Lalu, dengan bodohnya Rhea dan Nagara membuka pintu yang tak pernah tersentuh selama puluhan tahun itu. Teror pun dimulai, namun ingat peraturan ini;
Membuka satu pi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Rhe, lo kurang tidur?" Tanya Dona begitu melihat Rhea keluar dari kamar mandi.
Ya, Rhea sangat kekurangan tidur. Setelah terbangun dari mimpi buruknya semalam, Rhea tidak berani untuk tidur lagi. Dia hanya bisa menangis tanpa suara sambil memukul-mukul dadanya yang sesak.
Rhea membalas pertanyaan Dona hanya dengan anggukkan, lalu berjalan menuju lemari untuk mencari dasi.
"Lo nangis juga, ya? Mata lo sembab." Luna menambahkan.
"Iya, Rhe, lo kenapa?" Tanya Siera, langkahnya mendekati Rhea.
Rhea menggeleng pelan. Matanya menatap satu persatu temannya yang terlihat khawatir. "I'm okay. Gue cuma mimpi buruk semalem terus nangis karena takut."
Dona berdecak pelan. "Harusnya lo bangunin gue kalau takut!"
Senyum Rhea terangkat sedikit. "Yakin lo bakalan bangun? Lo 'kan kebo tidurnya,"
Luna dan Siera tertawa sambil mengangguk mengiyakan. "Kebo emang die!"
Siera melirik jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 07:30.
"Udah yuk cepet turun ke bawah, sarapan." Siera menenteng tasnya yang tergeletak di atas kasur. Dona dan Luna berdiri, berjalan mengikuti Siera keluar kamar. Rhea mengambil sepatu dan tasnya, menutup pintu kamar dan segera pergi ke kantin asrama putri.
***
Kepala Rhea pusing. Badannya terasa tidak nyaman dan juga lemas. Belum lagi asam lambungnya naik. Rhea menjadi tidak fokus mendengarkan guru di depan yang tengah menjelaskan kimia.
"Rhe lo sakit?" Tanya Luna yang duduk di samping Rhea. "Muka lo pucet banget!"
"Iya nih kayaknya," Rhea membalas lemah.
Luna menempelkan punggung tangannya di kening Rhea. Panas. "Ih, iya lo sakit!"
"Ada apa Luna?" Tanya Bu Mita saat mendengar suara ribut-ribut di bangku Luna dan Rhea. "Kenapa?"
Luna nyengir kecil, "Anu... ini Bu, Rhea sakit kayaknya. Badannya juga panas."
Bu Mita berjalan mendekati Rhea lalu menempelkan punggung tangannya pada kening Rhea juga. Beliau mengangguk mengerti. "Hm, iya, kamu sakit Rhea. Cepat bawa Rhea ke poliklinik." Titahnya langsung diangguki Luna.
"Jangan kamu Luna, sama cowok saja. Saya takut Rhea pingsan di jalan, wajahnya pucat sekali soalnya." Bu Mita mengedarkan pandang mencari sosok laki-laki yang bisa membantu Rhea, lalu tatapannya jatuh pada cowok yang sedang asik ngobrol dengan temannya.
"Langit!"
Semua orang lantas menatap ke arah Langit, si cowok berandalan yang sering bikin guru pusing itu.
Langit berdiri dari duduknya, "Iya, Bu?"
Bu Mita berdecak sambil geleng-geleng. "Itu dasi kamu rapihin, longgar gitu! Rambut juga, jangan acak-acakkan kayak gitu." Langit mengangguk, menarik dasinya ke atas. Namun percayalah nanti juga diulang lagi.