Mimpi buruk itu datang untuk kesekian kali, mengambil waktu tidur yang tak seberapa itu.
Nagara bangkit dari tempat tidurnya sambil mengusap keringat dingin yang sering dia rasakan ketika mimpi buruk seperti tadi. Setelah cuci muka dan mengambil jaket, laki-laki itu berjalan keluar asrama. Sesekali dia mendongak menatap langit malam, menghela napas panjang. Bukan untuk mengeluh, hanya saja dia ingin sedikit menjernihkan pikirannya yang kusut.
"Apa gue terlalu baik sama dia, ya?" Monolog Nagara.
Kejadian kemarin sore di tengah hujan deras dan angin ribut itu, kembali berputar di kepalanya. Sebuah pernyataan dari seorang gadis yang tidak pernah dia pikir sebelumnya. Sebuah pernyataan yang terdengar tulus dan putus asa itu, berhasil menyita pikirannya sepanjang hari.
"Apa gue pura-pura gak denger aja, ya?" Lagi-lagi, hanya suara dedaunan saling bergesekkan saja yang menjawab. Nagara tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
"Atau gue jawab dan jujur aja semuanya kalau gue gak suka dia? Gue tolak dia aja gitu?"
Nagara berdecak kesal. Rambut hitam legamnya ditarik frustasi. "Come on, Ga, ini bukan sekali dua kalinya lo dapet pernyataan kayak gini. Tapi kenapa Rhea yang lakuin lo sepusing ini? Tinggal jawab enggak 'kan apa susahnya? Lo biasa juga gitu, tapi kenapa sekarang lo kayak orang bego gini?"
Nagara melanjutkan langkah sambil terus memikirkan reaksinya jika bertemu dengan Rhea nanti. Di depan asrama tua, terlihat Rhea sudah berdiri menunggunya. Gadis dengan hoodie kebesaran itu tersenyum kaku begitu melihat Nagara berjalan ke arahnya.
"Kali ini gue yang datang duluan," ucap Rhea mencoba mencairkan suasana.
Nagara tersenyum kecil, menandakan dia setuju. "Lo udah baikkan?"
"Hm. I'm okay."
"Syukur kalau gitu," Nagara mencoba bersikap biasa saja, seolah tak pernah ada pernyataan itu sebelumnya. "Yaudah kita masuk sekarang,"
Rhea mengangguk. Melangkah kecilnya mengikuti langkah Nagara yang berjalan di depannya. Di belakang Nagara, Rhea terus berusaha terlihat santai. Padahal jantung rasanya sudah mau meledak jika diingat lagi pernyataannya sore itu.
"Tali sepatu lo udah diiket yang kuat, kan?" Tanya Nagara ketika mulai menyusuri lorong lantai dua.
"Udah." Rhea berdeham pelan sebelum melanjutkan. "Eum... Sebelumnya gue mau bilang terima kasih karena udah gendong gue sore itu. Sebenernya gue agak kurang inget seberapa nyusahinnya gue waktu itu, tapi gue diceritain temen kamar gue katanya asrama cewek heboh."
Rhea gak inget masalah pernyataan perasaannya itu? Oke, kalau gitu gue gak usah bahas itu lagi.
"Maaf ya, Kak, kalau lo keganggu atau risih." Sambung Rhea.
"Santai aja kali. Gue biasa aja. Gue juga gak terlalu denger karena lagi hujan deras waktu itu." Balas Nagara.
Berarti Kak Nagara gak denger gue ngomong apa waktu itu. Untung gue ngomongnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHOST ROOMS [SELESAI]
Teen Fiction(Ghost series #4) Ada sepuluh pintu misterius di asrama terbengkalai dekat sekolah. Lalu, dengan bodohnya Rhea dan Nagara membuka pintu yang tak pernah tersentuh selama puluhan tahun itu. Teror pun dimulai, namun ingat peraturan ini; Membuka satu pi...