(Ghost series #4)
Ada sepuluh pintu misterius di asrama terbengkalai dekat sekolah. Lalu, dengan bodohnya Rhea dan Nagara membuka pintu yang tak pernah tersentuh selama puluhan tahun itu. Teror pun dimulai, namun ingat peraturan ini;
Membuka satu pi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gimana, Fi?" tanya Alfa pada Nafi yang tengah sibuk menghubungi seseorang dari pihak rumah sakit milik keluarga besarnya, dimana rumah sakit itu tempat Nagara dirawat.
Nafi menggeleng pelan. "Gak diangkat,"
Alfa menoleh pada Rhea yang terduduk di bangku taman sekitar asrama ditemani ketiga temannya. Dia merasa kasihan dengan Rhea yang terus meminta ingin pergi ke rumah sakit di pagi buta seperti ini. Sebelumnya mereka sudah meminta izin untuk pergi ke rumah sakit bersama, namun Bu Marin tidak mengizinkan hal itu. Sebagai pembina asrama, mereka semua merupakan tanggung jawabnya. Jadi sebisa mungkin Bu Marin akan meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.
"Rhe, lo tenang, ya. Gue yakin kok yang tadi itu bukan arwahnya Kak Nagara. Gue yakin kalau itu salah satu cara hantu itu buat ngelabuin kita semua biar kita masuk lagi ke dalam sana," Luna mencoba menenangkan Rhea yang terus menunduk. "Jadi, kita tunggu aja dulu ya kabarnya dari pihak rumah sakit."
"Gimana kalau itu beneran Kak Gara?" lirih Rhea sambil mengusap hidungnya yang basah.
"Enggak, Rhe..." balas Dona.
Siera mendekati Nafi dan menepuk pundak laki-laki itu pelan. "Gimana, Kak?"
"Kak Nina enggak jawab, kayaknya lagi operasi." jawab Nafi. Kak Nina adalah kakak perempuan Nafi yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit itu.
Siera mengangguk paham. "Kalau udah ada kabar, kabarin ya."
"Pasti." balasnya sambil menepuk puncak kepala Siera.
Siera kembali bergabung dengan teman-temannya, ia kemudian berjongkok di hadapan Rhea dan menatap matanya.
"Rhe," panggil Siera. "Lo tetap tenang, ya. Besok kita pergi ke rumah sakit bareng-bareng."
Rhea tidak menjawab, namun air matanya terus mengalir.
"Iya, Rhe. Besok kita ke rumah sakit bareng-bareng." Dona memeluk Rhea dari samping, begitu pun dengan Luna.
Angin pagi itu berhembus meniup dedaunan, menimbulkan gesekan-gesekan menenangkan yang membuat terbuai. Serangga nokturnal pun ikut saling bersahutan, mengisi kekosongan di antara mereka.
Rhea mendongak menatap bulan purnama yang bersinar terang di antara gelapnya langit. Ia selalu teringat Nagara. Isi kepalanya selalu terus mencoba berpikir positif tentang Nagara. Rhea berpikir, bahwa Nagara tidak akan meninggalkannya secepat itu. Nagara tidak akan meninggalkannya saat bulan sedang terang-terangnya seperti. Jika benar Nagara pergi, Rhea akan selalu berada dalam kukungan kesedihan tak berujung setiap melihat bulan.
"Udah dibalas!" seru Nafi memecahkan keheningan.
Semua atensi kini berpusat pada Nafi. Mereka semua menunggu jawaban dari Nafi.