Langit mendung seolah tau perasaan mereka yang ditinggalkan. Sejak siang hingga sore ini gelap menghiasi langit. Raga itu sudah terkubur di dalam tanah. Satu persatu orang di sana bergegas kembali karena sepertinya hujan akan turun deras.
Kaitlin masih setia berada di samping Dwiky. Masih setia menenangkan dan menguatkan kerapuhan Dwiky.
Kaca mata hitam yang Dwiky kenakan menutupi matanya yang sudah sembab. Kehilangan mamanya sama dengan kehilangan dirinya sendiri. Tapi genggaman tangan Kaitlin membuat Dwiky sadar bahwa masih ada Kaitlin di dalam hidupnya.
Zivia, Keira dan Tiffany berpamitan pada Kaitlin yang kemudian mengangguk
“Kita pamit duluan, ya, Ky” Ujar Zivia pada Dwiky sebelum pergi.
“Thanks, Ziv”
“Lin, kita pamit, ya?” Ujar Tiffany pada Kaitlin yang menemani Dwiky sedari tadi.
“Lo juga jangan lupa makan dan istirahat” Ujar Keira lagi
Kaitlin hanya terkekeh “Iya, thanks ya, guys udah datang”
Kemudian semua orang beranjak dari sana dan meninggalkan Dwiky, Kaitlin, Sena beserta Ambar di sana.
“Kami duluan, jangan terlalu berlarut dalam kesedihan” Ujar Sena tanpa memandang Dwiky
Kemudian Sena menatap Kaitlin “Hati-hati” Kaitlin hanya menganggukkan kepalanya canggung
Kemudian Ambar mendekat ke arah Kaitlin dan memeluknya “Sampai ketemu di rumah ya, Lin. Jangan kehujanan”
“Iya, Tante. Om dan Tante hati-hati di jalan”
Saat ini hanya tersisa mereka berdua. Dwiky menoleh ke arah Kaitlin “Kalau kamu mau pulang duluan, nggak apa-apa, Lin. Lagian juga mau hujan, nanti kamu kehujanan”
Kaitlin menggelengkan kepalanya “Nggak, Ky, aku tetap di sini temani kamu. Nggak perduli hujan akan turun sederas apa”
Dwiky hanya tersenyum tipis saat Kaitlin memutuskan untuk menemaninya. Setelah itu, satu persatu hujan turun dan langsung membasahi mereka berdua.
Bersamaan dengan turunnya hujan, Dwiky kemudian berjongkok dan membelai nisan mamanya. Membaca nama lengkap mamanya disana. Perasaan sakit itu hadir lagi. Bahu Dwiky berguncang kuat beriringan dengan air matanya yang jatuh.
Rintihannya terdengar melirih. Kaitlin yang mendengar hal itu merasa iba dan ikut sakit hati melihat keadaan Dwiky saat ini. Namun tugas Kaitlin bukanlah ikut jatuh, melainkan menguatkan Dwiky agar kembali mempunyai pegangan.
Hujan menjadi saksi betapa hancurnya Dwiky saat ini. Namun hujan juga menjadi saksi, bahwa Kaitlin akan menjadi satu-satunya orang yang bisa menguatkan Dwiky. Jika Kaitlin pergi, maka hidup Dwiky akan lebih hancur daripada ini.
***
Hujan masih setia mengguyur kota sore itu sampai Kaitlin dan Dwiky sudah di rumah. Rumah Dwiky terlihat sudah sepi, semua pelayat sudah kembali ke rumah mereka masing-masing dan menyisakan beberapa keluarga dan ketiga sahabat Kaitlin.
Dwiky menatap foto dirinya dan mendiang mamanya yang ia pajang di dalam kamar. Namun pada saat itu juga, Dwiky meluruh. Segala ingatan tentang mamanya terlintas lagi. Bagaimana saat mamanya bersamanya dan bagaimana Dwiky menyesal tidak bisa mewujudkan banyak mimpi mamanya.
“Dwiky nggak tau setelah ini akan bagaimana, Ma. Dwiky nggak tau” Dwiky menggelengkan kepalanya yang tertunduk.
Di sela pintu, Kaitlin menatap iba Dwiky. Kaitlin selalu mengikuti Dwiky dari belakang untuk memastikan laki-laki itu. Karena ia tau, Dwiky sangat terpukul kehilangan mamanya. Karena ini terlalu mendadak dan karena tidak ada satupun orang yang siap akan sebuah kehilangan.
Kaitlin kemudian menutup pintu kamar Dwiky rapat dan beranjak dari sana. Kembali ke ruang tamu yang berisikan beberapa saudara Dwiky dan ketiga temannya.
Kaitlin duduk di samping Tiffany yang kemudian langsung menggenggam tangan Kaitlin “Lo udah makan?”
Kaitlin menggeleng “Belum, gua nggak sempat makan tadi, nggak selera juga”
Tiffany menghela nafasnya “Dwiky lagi kacau, dan lo butuh tenaga untuk jadi sandarannya”
Perkataan Tiffany barusan menjadi bukti bahwa Tiffany sudah menerima apapun keputusan Kaitlin mengenai hubungannya. Biarpun ia merasa bersalah kepada Dwiky, namun dengan keberadaannya di sini, pertanda bahwa Tiffany tidak lagi ada masalah jika Kaitlin menjalin hubungan dengan Dwiky dan bukan lagi dengan Raja.
Zivia beranjak dari sana, diam-diam mengambil makan malam untuk mengisi perut Kaitlin yang kosong.
“Nih, makan dulu”
Kaitlin menerima piring berisi makanan dari Zivia dan menyantapnya perlahan dalam diam. Kepalanya penuh sekarang. Menghadapi situasi ini membuat tenaganya cukup terkuras. Ia harus selalu berada di samping Dwiky hingga laki-laki itu merasa lebih baik.
Namun di satu sisi, Kaitlin masih memikirkan pertemuannya dengan Raja sewaktu di rumah sakit. Bagaimana mungkin Raja tidak mengenalnya? Apa mungkin itu hanya kamuflase agar semua terlihat biasa saja?
Kaitlin beralih ke arah Tiffany “Ti, gue mau tanya”
Tiffany melirik ke arah Kaitlin “Apa? Tanya aja”
“Kapan terakhir kali lo ketemu Raja?” pertanyaannya sontak membuat ketiga temannya menatapnya aneh
“Ih, kok jadi ngeliatin gue?” bingung Kaitlin
“Lagian masih aja lo” Semprot Keira.
Kaitlin menghela nafasnya pelan “Bukan gitu loh, soalnya tadi gue ketemu di rumah sakit. Tapi ada yang aneh dari gelagatnya”
Tiffany mengernyitkan dahinya tidak mengerti “Gelagat maksud lo?”
“Iya, Raja waktu papasan sama gue tuh seolah dia nggak mengenali gue. Tatapan matanya pun beda dari yang sering gue lihat”
Kaitlin menatap Tiffany “Lo sebagai sahabatnya pun akan tau tatapan Raja yang itu. Tatapan baru pertama kali bertemu dengan seseorang yang baru dia temui”
“Hah? Masa sih? Gue belum pernah ketemu dan kontek dia lagi, Lin” Ujar Tiffany
“Tapi Raja sudah pernah bawa Lily untuk ketemu lo?” Mendengar kalimat Kaitlin membuat Tiffany lagi-lagi menggeleng. Ia belum pernah dikenalkan secara langsung dengan calon istri Raja.
Di balik sebuah tembok Dwiky mendengar percakapan ke empat orang yang sedang berbicara tentang hal yang seru. Mendengar Kaitlin masih mau tau tentang Raja, membuat sisi hatinya yang egois sedikit cemburu. Dan dari cara Kaitlin bicara, Dwiky takut jika posisinya terancam.
Karena baginya, saat ini hanya Kaitlin yang ia punya. Dan ia tidak akan membiarkan sesuatu yang ia punya hilang lagi.
Ia harus memenangkan Kaitlin. Harus.
***
Raja duduk diam di balkon rumahnya dengan secangkir teh panas yang berada di genggamannya. Raja menggenggam cangkir guna menyalurkan kehangatan dari tehnya untuk dirinya yang kedinginan.
Malam ini, menjadi malam paling dingin bagi Raja. Ia mendongak dan menatap bulan sedang di temani banyak bintang. Raja kemudian tersenyum tipis mengingat percakapannya bersama Kaitlin.
“Bulan itu nggak pernah sendirian. Dia punya banyak teman di atas sana. Hanya saja, teman-temannya terlalu kecil untuk terlihat atau malah terlalu jauh untuk bisa kita lihat”
“Dan sekarang aku yang sendirian, Lin”
“Sejauh apapun jarak yang mungkin memisahkan kita, selama kamu mengizinkan, aku akan tetap ada di hati dan pikiran kamu. Dan kamu nggak akan sendirian”
“Apa sekarang kamu merasa sendirian, Lin?” Raja bermonolog dengan dirinya sendiri sembari menatap rembulan yang bersinar terang malam ini setelah hujan sore tadi reda.
“Tapi kalau pada akhirnya raga kamu nggak bisa aku raih seperti ini. Aku tetap hampa. Bukan seperti bulan, tapi seperti langit yang kosong”
“Apa sekarang kamu seperti bulan? Atau malah langit yang kosong?”
“Apa artinya kalau kamu ada di pikiran dan hati aku, tapi kamu nggak ada di sini?"
“Apa kamu masih mengharapkan aku ada di samping kamu, Lin? Atau setidaknya, ada bagian kecil di hati atau pikiran kamu buat aku?"
Raja asyik bermonolog dengan dirinya sendiri. Membayangkan Kaitlin ada di sana dengan senyum dan duduk di sampingnya. Kekalahan Raja benar-benar mutlak. Ia mengalah agar Kaitlin mendapat kebahagiaan yang bukan dari dirinya yang sewaktu-waktu akan menyakitinya.
“Sekarang aku bagai langit yang kosong, Lin. Menyakiti kamu nyatanya mampu membunuhku di setiap tetes air mata yang ku lihat dengan mata kepalaku sendiri”
“Ternyata, melepaskan mu dengan cinta yang masih tertanam dalam semenyakitkan ini”
"Ternyata, mencintai kamu sesakit ini"***
Selamat membaca, sayang-sayangku
Big Love
Cayon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We? [Completed]
Teen FictionCinta akan membawamu pulang kepadaku. Meskipun langkahmu sudah terlalu jauh, aku yakin, kau akan kembali pada orang yang kau sebut rumah, yaitu aku.