41. Tulip vs Anggrek

220 22 0
                                    

Hujan pukul lima pagi tadi membuat udara Jakarta terasa sejuk. Air yang masih meninggalkan jejak di dedaunan menetes pelan menyentuh tanah. Perlahan matahari naik dan mengeluarkan cahayanya. Menjilat jalanan dan pepohonan yang masih terlihat basah.

Di salah satu kamar berukuran besar yang terlihat nyaman seseorang masih bergelung di selimutnya. Cuaca favoritnya membuat ia menunda-nunda untuk bangun. Sampai suara ponsel merusak tidurnya. Ia berdecak, dengan mata terpejam, ia menerima panggilan tersebut tanpa tau siapa yang menghubunginya.

"Halo, siapa, sih, yang ganggu tidur gue pagi-pagi buta gini" Semprot Kaitlin

"Astaga sayang.. aku sudah di bawah dari tadi loh, kamu malah belum bangun. Ini sudah jam berapa lihat" Suara Dwiky menginterupsi telinga Kaitlin. Matanya terbuka dan menoleh nama Dwiky tertera disana. Kemudian ia menoleh ke arah jam dinding dan seketika lompat.

"Mati gue"

"Iya, sayang, tunggu tunggu, aku nggak lama, kok, janji" Dengan terburu-buru, Kaitlin mematikan ponselnya sepihak.

Hal itu membuat Dwiky menggelengkan kepalanya. Ia kemudian membuka ponselnya dan sesekali menoleh ke arah pekarangan rumah Kaitlin. Bunga tulip dan anggrek tumbuh berdampingan di pekarangan milik Kaitlin. Dwiky tersenyum tipis, di satu sisi ia senang, ketika Kaitlin menanam bunga tulip yang saat ini menjadi satu favoritnya. Di sisi lain, Dwiky merasa sedih, bunga yang selama ini Raja beri pada Kaitlin kembali hidup dan segar.

Apakah perasaan Kaitlin benar-benar kembali untuk Raja? Ia tidak pernah tau. Ia hanya mengikuti alur yang di tuliskan takdir padanya.

Lamunannya buyar ketika Kaitlin masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa "Ayo, sayang, jalan"

Kaitlin kemudian sibuk memoleskan make up ke wajahnya. Dwiky menatap takjub Kaitlin yang berani tampil apa adanya di hadapannya. Karena kebanyakan wanita, tidak pernah berani bertemu kekasihnya ketika mereka tidak memakai riasan.
Dwiky menjalankan mobilnya pelan. Karena sedikit goncangan lebih kencang dari mobilnya, membuat riasan kekasihnya tidak maksimal. Dan menyebabkan Kaitlin akan memarahinya sepanjang perjalanan.

Kaitlin sibuk berdandan dan mengajak Dwiky mengobrol tentang hal-hal random. Menyadari kecepatan mobil Dwiky yang tidak seperti biasa, membuat Kaitlin menoleh

"Kok bawa mobilnya lama? Kamu nggak takut telat?"

"Kan kamu lagi dandan, nanti kalau terlalu kencang, riasan kamu nggak maksimal, kamu marahi aku lagi"

Hal itu membuat Kaitlin terkekeh "Nggak lah, Ky, masa iya aku marahi kamu hanya karna hal itu. Aku sudah biasa dandan di mobil. Jadi sesuaikan kecepatan laju mobil kamu seperti biasa aja"

Dwiky melirik Kaitlin "Serius kamu?"

Melihat Kaitlin mengangguk mantap, Dwiky kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Sebuah lagu terputar membuat Kaitlin lantas tersenyum "Coba volumenya dinaikin lagi, Ky"

Dan Dwiky melakukan apa yang diminta oleh Kaitlin "Ini lagu siapa?"

Pertanyaan Dwiky membuat Kaitlin menoleh "Loh, kamu nggak tau lagu ini? Lagunya Raissa Anggiani, judulnya kau rumah ku"

"Aku baru dengar" Kalimat Dwiky seketika membuat Kaitlin terdiam. Ingatannya kembali ke masa dimana ia dan Raja melantunkan lagu ini bersamaan saat mereka bersama. Mereka terlihat bahagia. Lagu yang sangat mewakili mereka kala itu. Lagu yang memberi tau mereka satu sama lain bahwa masing-masing dari mereka adalah rumah. Kaitlin rumah bagi Raja, begitupun sebaliknya.

Namun hubungan mereka yang telah selesai itu membuat jarak terbentang antar keduanya. Meskipun tanpa mereka sadari, sebenarnya rumah itu masih milik mereka. Kapanpun mereka ingin pulang, rumah itu akan tetap berada di alamat yang sama. Hanya saja, mereka sedikit tersesat setelah liburan dan perjalanan panjang yang mereka lewati. Mereka belum menemukan jalan untuk pulang.

***

Raja terlihat duduk berhadap-hadapan dengan Lily. Raja yang sedari sibuk dengan dunianya mengabaikan Lily yang sedari tadi mengajaknya bicara.

Lily menghela nafasnya "Jadi kamu serius dengan keputusanmu, Ja?" guna menjawab pertanyaan Lily, Raja hanya menganggukkan kepalanya.

"Yakin?"

Kali ini, Raja yang menghela nafas dan menatap Lily "Yakin, Ly. Memangnya pengobatan yang aku lewati ini akan membuat aku sembuh atau hidup lebih lama?"

"Kita nggak akan pernah tau kapan orang akan mati, Ja"

"Aku tau, tapi aku rasa cukup, Ly. Kalau bukan karena dua anak itu, aku nggak akan sampai di sini sekarang" Dua anak yang disebutkan Raja adalah Tiffany dan Samudra yang membohonginya. Mengajak Raja makan awalnya, alih-alih makan, Raja malah di seret bertemu dengan Lily.

"Setidaknya berusaha hidup untuk mereka yang mau kamu tetap ada di sisi mereka"

"Mereka aku rasa udah cukup mengerti, Ly"

Setelah itu mereka terdiam lama. Raja memutuskan untuk menyudahi pertemuan mereka dan berpamitan dari sana. Saat Raja beranjak keluar, Lily menghela nafasnya kasar. Menyerahnya Raja atas hidupnya sendiri membuat Lily, dokter yang menanganinya merasa gagal menyelamatkan.

Saat pintu terbuka lebar, Raja mendapati Tiffany dan Samudra yang langsung berdiri. Namun Raja melengos begitu saja meninggalkan mereka berdua. Tiffany dan Samudra saling menatap satu sama lain. Keduanya juga mengangkat kedua bahu mereka bingung.

Setelah Raja menjauh beberapa langkah, Lily keluar dari ruangannya. Samudra dan Tiffany menghela nafas mereka sedih karena mendapat gelengan dari Lily yang mengartikan Raja benar-benar menyerah.

"Sekarang, kita harus apa, Sam?"

"Kita ikuti maunya Raja. Biarkan dia mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri"

Kemudian mereka berdua berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada Lily dan menyusul langkah Raja. Dengan senyum terpaksa, Tiffany mengapit lengan Raja.

"Gimana kalau kita hari ini makan sushi?" Raja tetap diam dan terus berjalan

"Ih, Raja malah ngambek" Dumel Tiffany

"Raja ganteng, ayo makan sushi" Ujar Tiffany manja. Sam yang melihat kelakuan kekasihnya itu hanya mampu terkekeh. Tiffany akan begitu hanya di depan orang terdekatnya saja.

"Beneran makan sushi?" Respon Raja membuat Tiffany menganggukkan kepalanya

"Nggak perlu cari rumah sakit lagi, ya?" Merasa tersindir, Tiffany berdecih

"Mainnya nyindir nih" Ujar Tiffany yang setia mengapit lengan Raja. Raja terkekeh menyadari Tiffany yang menunjukkan sisi lain dari dirinya yang orang lain tidak tau.

Merasa kekasihnya terlalu lama mengapit lengan Raja dan menganggurkan lengnanya, membuat Samudra membuat jarak antara mereka berdua. Kini Samudra berada antara Tiffany dan Raja. Raja yang melihat hal itu terkekeh

"Sorry, bro, harusnya gue yang digandeng lengannya, bukan lengan lo. Cari pacar, gih, biar ada yang gandeng" Ujar Sam.

"Sorry bro, tangan gue sudah puas digandeng Tiffany bertahun-tahun, lo yang baru sebulan jangan merasa paling spesial gitu" ujar Raja memanas-manasi Samudra.

Langsung saja Samudra melepas lengannya dari gandengan Tiffany dan memukul Raja pelan. Di lorong rumah sakit itu, tawa mereka menggema. Melihat bagaimana Tiffany bisa melupakan perasaannya kepada Raja dan memiliki Samudra kali ini, membuat Tiffany bersyukur.

Saat menatap punggung kedua lelaki itu, Tiffany fokus pada punggung Raja. Pikiran Tiffany hanyut entah kemana. Tiffany membayangkan bagaimana kalau ia tak bisa lagi menatap punggung itu lama. Bagaimana kalau ia tak lagi bisa menggandeng lengan Raja erat. Bagaimana jika ia tak dapat menyaksikan lagi senyum Raja dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana?

Tiffany berjanji pada dirinya sendiri. Jika Raja mampu membuatkan bahagia dan memeprtemukannya dengan Samudra, maka jika memang hidup Raja tinggal dalam hitungan, Tiffany akan membuat Raja menikmati akhir-akhir hidupnya. Tiffany berjanji.

***

Aku sayang kalian, guys.
Big Love
Cayon!


Can We? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang