Ruangan bernuansa putih itu menemani mereka. Bau antiseptik dan obat-obatan menyapu indra penciuman mereka. Zivia menatap wajah pucat Kaitlin yang masih memejamkan matanya. Nasal cannula bertengger di hidung gadis itu untuk membantu Kaitlin bernafas. Zivia memejamkan matanya saat ingatannya terlempar melihat Kaitlin terkapar dengan darah yang dialiri air. Zivia menghela nafasnya dan menundukkan kepalanya. Ia gagal. Ia gagal memahami sahabatnya sendiri.
Zivia tersentak kala seseorang meraih tangannya dan membersihkan sisa darah Kaitlin yang mengering di tangannya dengan tisu basah. Zivia menatap Tiffany yang dengan telaten membersihkan tangannya.
"Kalau lo mau nangis lihat keadaan sahabat lo, nangis aja, Ziv. Jangan di tahan. Gue tau lo juga sakit melihat Kaitlin nggak berdaya seperti tadi"
Tiffany mengepal tisu basah bekas darah kering di tangan Zivia dan menatap salah satu sahabatnya itu "Gue tau lo mengendalikan diri agar nggak menangis. Gue mohon, jangan tahan apa yang nggak bisa lo tahan. Lihat anak ini" mereka sama sama memandang Kaitlin yang masih setia memejamkan mata.
"Waktu dia memilih membangun dinding pertahanannya tinggi tinggi, dalam sekejap semuanya bisa hancur dan berantakan. Cukup Kaitlin yang begitu, Ziv. Lo nggak boleh" Tiffany menggenggam tangan Zivia.
Tiffany paham, Zivia berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak menangis saat salah satu di antara mereka berantakan. Zivia akan menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tidak becus memahami sahabatnya. Tiffanypun merasa demikian. Tiffany merasa bersalah karena tidak memahami Kaitlin sama sekali. Mereka abai dengan senyum yang Kaitlin pasang setiap mereka bertemu. Mereka tidak pernah bisa membaca situasi sekarang ini akan terjadi di tengah-tengah mereka.
Zivia selalu mencoba menjaga Tiffany dan Kaitlin. Dan saat sesuatu terjadi dan tidak dapat dikendalikan, Zivia akan menahan diri dan merasa bersalah. Bagi Zivia, jika iapun ikut hancur seperti Tiffany, siapa yang akan menopang kedua sahabatnya itu?
"Bukan tugas lo untuk menopang kami, Ziv. Kalau lo merasa begitu, lalu siapa yang akan menopang lo?"
"Kebahagiaan kami bukan tanggung jawab lo, Zivia. Kesedihan kamipun bukan kesalahan lo"
Zivia menundukkan kepalanya "Gue gagal memahami Kaitlin, Ti. Gue gagal sampai semuanya bisa seburuk ini. Kalo seandainya kita nggak datang malam itu, gue nggak tau Kaitlin masih ada sama kita atau nggak"
"Kita sama-sama gagal memahami dia, tapi kita nggak bisa apa-apa. Nggak semua hal harus bisa lo kontrol, Ziv. Nggak semua hal harus bisa lo tangani termasuk perasaan sahabat lo" Ujar Tiffany.
"Kita nggak pernah tau Kaitlin akan senekat ini, kan?" Melihat Zivia yang mulai meneteskan air matanya, Tiffany mendekat dan memeluk sahabatnya itu.
Kaitlin dan Zivia sama. Mereka akan menahan diri agar tidak terlihat lemah di depan masing-masing mereka. Hanya Tiffany yang bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan sekalipun itu tangisan.
Mereka berdua melepas pelukan setelah Samudra datang membawakan mereka makan malam, mengingat mereka belum memakan apapun sedari tadi.
"Makan dulu, kalian butuh tenaga untuk menghadapi Kaitlin setelah bangun" Samudra menyerahkan makanan untuk Zivia
"Thankyou, Sam" Samudra menganggukkan kepalanya dan beralih ke arah Tiffany.
"Makan dulu, Sayang. Aku suapi?" Tiffany hanya menggelengkan kepalanya
"Nggak usah, aku bisa sendiri" Samudra menganggukkan kepalanya dan meletakkan botol minuman di depan Zivia dan Tiffany.
Di saat dua orang ini sibuk memikirkan Kaitlin, Sam ada untuk memperhatikan mereka berdua. Sam menoleh ke wajah pucat Kaitlin dan menghela nafasnya. Mengingat di depan tadi, Dwiky tidak berani masuk dan melihat Kaitlin.
"Dwiky merasa bersalah banget melihat Kaitlin begini" Ujar Sam tanpa melepaskan tatapannya.
Zivia hanya diam menikmati makanannya mendengar penuturan Samudra. Sedari tadi dia memang sadar bahwa Dwiky cukup terguncang. Zivia mengetahui sebab mereka bertengkar dan sebab Kaitlin memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Agar Dwiky tidak lagi terbebani dan tidak perlu repot-repot merusak perasaannya dengan menandatangani surat perceraian yang sudah Kaitlin berikan padanya.
"Kamu ketemu Dwiky di mana?" Ujar Tiffany mengunyah makanannya.
"Di depan"
Setelah mengucapkan itu, Zivia meletakkan bekas makannya begitu saja setelah setengah tandas dan berjalan keluar dari ruangan Kaitlin. Tiffany dan Samudra menatapnya.
"Makanan lo belum habis, mau kemana?"
Zivia menatap sepasang kekasih itu "Gue kenyang, mau keluar sebentar. Kalau Kaitlin sadar, tolong kabari gue"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We? [Completed]
Teen FictionCinta akan membawamu pulang kepadaku. Meskipun langkahmu sudah terlalu jauh, aku yakin, kau akan kembali pada orang yang kau sebut rumah, yaitu aku.