Langit di luar tambak kelabu. Tidak ada hujan, tidak ada pula cahaya matahari. Kaitlin memandang lurus dari balik jendela sembari memeluk dirinya sendiri. Sudah satu Minggu, Kaitlin berdiam diri di rumah lamanya. Pesan dari Dwiky ia abaikan membuat Kaitlin merasa bersalah. Dwiky tidak mempunyai kesalahan padanya, tapi kemarahan di dalam dirinya membuat semua orang menjadi korban perasaannya.
Zivia yang memasuki kamar Kaitlin langsung mengambil posisi berdiri di samping Kaitlin ikut menatap yang Kaitlin tatap.
“Lo belum mau pulang?” Mendengar pertanyaan Zivia membuat Kaitlin menghela nafasnya pelan.
“Nanti malam gue pulang” Zivia sontak menoleh ke arah Kaitlin
“Gue sudah terlalu lama mengabaikan Dwiky. Padahal dia nggak salah apa-apa dan gue merasa bersalah karena itu” Lanjut Kaitlin
“Nggak ada yang salah, Lin. Situasi yang membuat keadaan jadi begini. Lo dan Dwiky sama-sama nggak bersalah. Jadi, jangan menyalahkan diri lo sendiri atas sesuatu hal yang mutlak terjadi tanpa lo minta” Timpal Zivia.
“Gue salah, Ziv. Kemarahan gue yang nggak bertuan ini membuat keadaan jadi rumit. Gue nggak tau mau marah ke siapa dan semua orang kena imbas atas apa yang gue rasakan”
“Dan gue sudah mengambil keputusan untuk gue kedepannya akan bagaimana” Kaitlin menoleh ke arah Zivia. Mereka berdua saling menatap. Tatapan Kaitlin bagaikan tatapan asing bagi Zivia. Ia tidak tau, keputusan apa yang selanjutnya di ambil oleh Kaitlin.
“Semoga keputusan yang lo ambil nggak membuat lo salah langkah, Lin”
***
Dwiky melepas kacamata yang bertengger dimatanya. Rasa lelah menghampirinya ketika ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya dan Kaitlin. Dwiky menyelesaikan pekerjaannya dan Kaitlin dalam satu waktu yang bersamaan. Dwiky tidak mau membuat istrinya itu pusing memikirkan pekerjaan karena telah ditinggalkan selama kurang lebih satu Minggu.
Dwiky menyesap kopinya yang sudah dingin dan beranjak dari tempat duduknya menuju jendela besar dan menatap jauh keluar. Hujan yang tidak begitu deras membasahi jendela ruang kerjanya.
Dwiky membuka ponselnya dan menatap pesan yang ia kirim kepada Kaitlin yang gak kunjung dibaca. Sehancurkah itu kah istrinya? Atau ia memiliki salah hingga memicu kemarahan Kaitlin yang berujung mengabaikannya?
Dwiky memikirkan semua hal itu sendirian. Dan Dwiky mengingat bagaimana Sena akhirnya menghampirinya dan menasehatinya kemarin malam.
Flashback on
Dwiky menyenderkan kepalanya di atas sofa karena baru saja sampai setelah menyelesaikan semua pekerjaannya yang menumpuk. Sena yang melihat itu meminta Ambar untuk membuatkan kopi untuknya dan Dwiky.
Setelah itu, Ambar menyerahkan kopi untuk Sena dan berniat memberikan satu gelas kopi lainnya kepada Dwiky. Sebelum langkah Ambar menjauh, Sena menahan pergelangan tangan Ambar.
“Biar aku aja” Sena mengambil alih kopi dari tangan Ambar dan membawanya sendiri ke arah Dwiky.
Merasa sofa di sampingnya di duduki, Dwiky lantas membuka mata da mendapati ayahnya di sana. Sena meletakkan kopi panas itu dan mempersilahkan Dwiky menyesapnya.
“Terima kasih, Yah” Setelah menyesapnya, Dwiky merasa sedikit tenang sekarang.
“Bagaimana istrimu?” Dwiky menoleh ke arah Sena dan menghela nafas.
“Masih sama, Yah. Bahkan Kaitlin nggak membaca pesanku sama sekali”
Sena menyesap kopinya dan meletakkan gelas kopinya kemudian menatap Dwiky. Sena menepuk punggung Dwiky pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We? [Completed]
Teen FictionCinta akan membawamu pulang kepadaku. Meskipun langkahmu sudah terlalu jauh, aku yakin, kau akan kembali pada orang yang kau sebut rumah, yaitu aku.