57. Sebuah Peran

141 19 1
                                    

Semua pertengkaran akan ada masanya. Berbaikan dan kemudian melupakan pertengkaran dan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Tidak ada kata maaf, tidak ada penjelasan. Mereka kembali menjalani kebiasaan mereka tanpa mengingat bagaimana permintaan cerai dari bibir seorang wanita yang menyerah atas pernikahannya yang ia kira tidak akan ada harapan. Nyatanya, harapan memang berada jauh dari mereka.

Besok malam, keluarga Dwiky akan mengadakan acara makan malam guna memperingati hari pernikahan kedua orang tua Dwiky.

"Jangan buat seolah-olah di antara kita ada masalah, Lin. Aku nggak mau ayah dan mama sibuk bertanya soal kita"

Itu adalah kata-kata yang di ucapkan Dwiky sebelum ia memutuskan untuk keluar dari kamar mereka berdua dan beranjak menuju ruang kerjanya. Melihat punggung Dwiky yang hilang di balik tembok, Kaitlin kembali bercermin. Agenda sebelum tidur Kaitlin adalah memberikan sedikit perawatan pada wajah ayunya. Kaitlin merapihkan rambutnya dan menatap seseorang yang ada di pantulan cermin dan menatapnya dengan senyum.

Alam bawah sadarnya memperlihatkan Raja yang tersenyum ke arahnya. Dan Kaitlin membalas senyuman itu tak kalah manis.

"Cantik" Ujar Raja

"Aku tau" Kaitlin menggedikkan kedua bahunya.

Raja berjalan mendekati Kaitlin dan meletakkan kedua tangannya di bahu Kaitlin. Pandangan mereka bertemu saat mereka menatap ke arah cermin.

"Sayangnya bukan milikku lagi" Ujar Raja. Saat Kaitlin mencoba untuk menoleh ke arah Raja, Raja menahan bahu Kaitlin agar tidak berbalik. Raja mencium pipi Kaitlin dan membuat Kaitlin memejamkan matanya erat. Bahkan ciuman yang diberikan Raja di pipinya mampu mengalahkan ciuman yang di beri Dwiky di bibirnya.

Saat Kaitlin merasa hampa, Kaitlin membuka mata dan tidak menemukan lagi bayangan ada di sana menemaninya. Kaitlin dilanda panik dan bergegas berbalik. Ia mencari keberadaan Raja kesana kemari sampai ia sadar, Raja sudah meninggalkannya.

Ia terduduk dan menghusap wajahnya. Kaitlin terkekeh dan merutuki dirinya sendiri yang kalah dibuat bayang-bayang. Sangkin cintanya, sangkin tidak terimanya, Kaitlin menghidupkan Raja di kepala dan hatinya. Dan itu membuatnya cukup bertahan.

"Aku selalu mulik kamu, Ja. Sampai kapanpun, aku tetap milik kamu"

***

Malam itu, Dwiky menunggu Kaitlin bersiap-siap di kamar mereka. Dwiky memasangkan jam tangan di pergelangan tangannya dan memunggungi Kaitlin yang tengah kesusahan menaikkan resleting dressnya yang terletak di belakang punggungnya.

Dwiky berdiri dan merapikan jas yang ia kenakan dengan warna senada dengan Kaitlin. Saat berbalik, Dwiky melihat Kaitlin yang tampak kesulitan. Dwiky menghela nafas dan berjalan ke arah Kaitlin.

Melihat punggung Kaitlin yang terbuka seolah menggoda iman Dwiky. Namun yang ia lakukan hanya menarik ke atas resleting dress Kaitlin dan menatap Kaitlin melalui cermin. Pandangan mereka dan Kaitlin adalah pihak pertama yang memutuskan kontak mata mereka.


Rasa cinta itu ada meski sedikit. Di tatap seintens itu oleh mata Dwiky kadang mampu membuat jantung Kaitlin berdetak tak karuan.

"Ingat, jangan tampak bermasalah di depan ayah dan mama" Dwiky berjalan lebih dulu. Melihat Kaitlin yang belum juga memulai langkahnya, Dwiky berbalik.

"Apa yang kamu tunggu?"

Kaitlin berjalan menghampiri Dwiky dan mengapit lengan suaminya itu "Kalau kamu nggak mau ayah dan mama curiga, jangan lepaskan tangan aku. Aku akan melakukan sesuai dengan keinginan kamu agar terlihat baik-baik saja oleh kedua orang tua kamu"

"Mari kita mulai"

Dwiky dan Kaitlin keluar dari kamar mereka. Sebelum pintu tertutup sempurna, Kaitlin mendapati sosok Raja di sana. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan tersenyum manis.

"Your so beautiful, my one only love" saat pintu sempurna tertutup, Kaitlin tersenyum tipis dan kembali pada perannya sebagai suami istri yang baik-baik saja sesuai keinginan Dwiky.

Mereka berdua akhirnya menuju sebuah restoran yang sudah direservasi oleh Sena untuk merayakan anniversarynya dengan Ambar. Meskipun banyak hal yang Sena dan Ambar lalui, perlahan namun pasti semuanya menemukan titik terang. Keluarganya lengkap dengan diterimanya Ambar oleh Dwiky dan kehadiran Kaitlin sebagai menantu mereka.

Sampai di sebuah restoran, keberadaan orang tua mereka tidak sulit untuk dicari. Kaitlin menampakkan senyum sumringahnya. Melihat itu, Dwiky menghela nafasnya, mereka akan memulai perannya sebagai suami istri yang bahagia dan saling mencintai.

"Happy anniversary, Yah" Kaitlin memeluk Sena dan di ikuti Dwiky. Kemudian beralih kepada Ambar yang senyumnya sangat lebar.

"Happy anniversary, Ma" Kaitlin memeluk Ambar lama.

"Terima kasih, sayang. Semoga kalian berdua juga melewatkan tahun-tahun pernikahan kalian dengan baik, ya?"

"Semoga ayah segera menimang cucu dari kalian berdua" Ujar Sena lagi yang membuat mereka saling tatap dan tersenyum canggung.

"Yaudah, yuk, duduk kalian"

Sebelum makanan mereka datang, Dwiky menatap Kaitlin mengeluarkan sebuah goodie bag yang sedari tadi Kaitlin bawa tanpa niat untuk bertanya apa yang istrinya itu bawa.

"Ini untuk ayah, ini untuk mama" Kaitlin memberikan satu persatu kado kepada kedua orang tua Dwiky.

"Apa ini, Nak?" Ujar Sena membuka goodie bagnya.

"Kado anniversary untuk kalian" Ujar Kaitlin dengan senyuman manis yang menghiasi bibirnya.

Sena mengeluarkan sebuah kotak jam dan langsung menukar jam yang sedang ia kenakan dengan jam pemberian menantu satu-satunya itu. Sena tersenyum dan menaikkan tangannya.

"Bagus, ayah suka. Terima kasih, Lin" Sena beranjak dan memeluk Kaitlin. Mencium pucuk kepala Kaitlin dan kembali duduk. Melihat bagaimana interaksi ayahnya dengan Kaitlin membuat Dwiky sedikit meringis. Lihat, bagaimana mungkin Dwiky mengindahkan permintaan cerai dari Kaitlin saat ayahnya saja sudah sangat menyayanginya seperti ini.

Kini giliran Ambar yang membuka kado pemberian Kaitlin. Sebuah kotak beludru biru yang Ambar dapatkan kali ini.


Sebuah kalian berliontinkan permata adalah kado yang terindah yang Ambar dapatkan malam ini. Ambar menatap Kaitlin berkaca-kaca.

"Sayang, ini indah sekali" Kaitlin berdiri dan berjalan ke arah Ambar.

"Mau aku pasangkan, Ma?" Tawar Kaitlin yang langsung mendapat anggukan dari Ambar.

Dengan telaten, Kaitlin memasangkan kalung itu ke leher ibu mertua tercintanya.

"Gimana? Cantik nggak?" Ujar Ambar menghadap Kaitlin.

"Apapun yang mana pakai, selalu bagus, Ma" Ujar Kaitlin membuat Dwiky makin terpatung.

Ambar menatap ke arah Sena dan tersenyum menunjukkan kalung yang ia pakai. Mereka berdua merasa beruntung mendapat menantu sebaik dan sepengertian Kaitin. Mereka berdua bahagia, bahagia karena Kaitlin adalah menantu mereka yang akan mereka percayakan mampu mengurus dan merawat Dwiky dengan baik.

"Selalu cantik, Sayang" Ujar Sena yang perlahan menunjukkan keromantisan di depan anak dan menantunya.

Sena bukan lagi orang yang kaku. Kaitlin mengajarinya untuk bersikap romantis kepada Ambar. Dwiky yang mendengar kata-kata itu dari ayahnya hanya dapat tersenyum. Sena yang merasa tersindir memukul lengan Dwiky pelan.

"Jangan ketawa kamu, Ky"

"Sejak kapan kata-kata ayah berubah semacam kata-kata anak remaja picisan begini?" Ujar Dwiky.

"Ini ajaran istri kamu, Ky. Dan itu bekerja dengan baik kalau ayah begitu ke mama mu"

Dwiky tetap mempertahankan senyumnya meskipun ia sedikit canggung saat mendengar pernyataan ayahnya. Dwiky menatap Kaitlin dengan senyum yang menghiasi wajah wanita itu. Ternyata Kaitlin sudah berperan sebagai istri yang baik untuk ayah dan mamanya sebelum ia meminta itu kepada Kaitlin.

Entah peran seperti apa yang sedang mereka mainkan, biarkan mereka menyambut akhir cerita yang baik untuk keduanya. Untuk mereka semua.

***

Kini, dua sejoli itu berada di apartement Raja. Berbeda dengan Kaitlin yang menyembuhkan kesedihannya hingga membangun imajinasinya sendiri, Tiffany malah terang-terangan mengatakan ketidaksanggupannya untuk terus mengenang Raja.

Samudra setiap hari menemaninya jika Tiffany ingin datang ke apartemet atau makan Raja. Dan disitu, Samudra akan menyaksikan bagaimana Tiffany masih sibuk berharap bahwa ini hanya mimpi dalam tidurnya. Nyatanya, kenyataan itu jauh lebih menyakitkan untuk mereka semua.

"Apa aku salah, Sam, kalau sampai detik ini aku belum bisa mengikhlaskan kepergian Raja?"

Samudra merapikan anak rambut Tiffany yang mengganggu pandangannya. Kini Tiffany sedang meletakkan kepalanya di pangkuan Samudra sambil menatap ke arah langit saat mereka duduk di balkon milik Raja.

"Salah, sayang, selalu salah. Tapi aku tau, kamu pun butuh waktu untuk bisa menerima semua ini. Apalagi, Raja adakah seseorang yang menemani kamu sedari kecil"

Tiffany menatap Samudra "Kamu nggak marah?"

Samudra terkekeh dan menggeleng, mendongakkan kepalanya menatap langit yang tampak kosong "Kenapa aku harus marah, saat hati orang yang tengah sulit mengikhlaskan itu sudah milikku?"

"Meskipun terkadang aku memang iri kepada Raja yang mendapat cinta sebesar itu dari kamu, tapi hal itu nggak akan buat aku berpikir kalau aku akan kalah".

"Terima kasih sudah mau mengerti aku, Sam"

"Sudah tugasku untuk selalu mengerti dan menemani kamu dalam keadaan apapun, Sayang"

Tiffany kemudian tersenyum. Dan di detik berikutnya ia menghela nafasnya kasar.

"Kaitlin terlalu sempurna menutupi kesedihannya dan menjalankan perannya sebagai orang yang baik-baik saja"

"Maksud kamu?"

"Sangkin hancurnya dia, dia menghidupkan Raja dalam pikirannya sendiri"

Samudra diam dan membiarkan Tiffany menyelesaikan ceritanya.

"Aku... pernah memergoki Kaitlin bicara sendirian dan menjadikan Raja sebagai orang yang sedang dia ajak mengobrol".

***

Maaf semakin ngaret updatenya guys.
Tapi yang penting, selamat membaca,
Big Love
Cayon!



Can We? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang