Dengan langkah yang cukup cepat, Tiffany dan Samudra bergegas menuju apartment Raja. Karena meninggalkan mereka berdua akan membuat dua orang itu mati kutu seketika. Tiffany mengetuk pelan pintu apartment Raja dan memperlihatkan Kaitlin yang membuka pintu untuk mereka berdua.
Langkah Kaitlin mendahului mereka. Kaitlin kembali duduk di meja makan karena sarapannya dengan Raja belum selesai. Tiffany dan Samudra saling melempar tetap. Samudra lagi-lagi hanya menggedikkan bahunya tidak tau.
“Janji mau masakin sarapan malah pergi” Dumel Raja yang mengunyah sphagetti nya.
“Y-yakan ada yang kurang tadi. Lagian juga itu kamu udah sarapan juga” Elak Tiffany
“Iya, dimasakin Kaitlin. Aku kelaperan soalnya” Ujar Raja yang masih asyik menyantap sarapannya.
“Buat kita mana, Lin?” Tiffany beralih ke Kaitlin
“Bikin sendiri” Kaitlin mengucapkan hal itu tanpa menatap Tiffany. Sepertinya, Kaitlin masih mendiamkan Tiffany karena tidak memberitahu tentang hubungannya dengan Samudra. Dasar posesif.
“Hi.. ngambek aja lo, habis ini gue ceritain cerita lengkapnya”
“Dih, apaan, siapa yang ngambek”
“Yang tau juga baru lo doang sama Raja”
“Ya tapi kan yang tau duluan Raja. Gue juga sahabat lo, masa iya gue taunya baru ini. Padahal kalau gue ada apa-apa, ceritanya langsung ke lo. Lo nya malah nggak”
Tiffany berdecih, pancingannya kena “Katanya nggak ngambek. Dasar sohib posesif!”
“Posesif posesif gini juga lo sayang”
“Sayangnya sama gue, Lin” Ujar Samudra yang membuka kulkas Raja dan mengeluarkan minuman soda.
Tiffany berdecak dan mengambil kaleng minuman yang hampir di buka oleh Sam.
“Belum makan nasi kamu. Udah mau minum soda aja. Giliran lambungnya sakit kamu ngeluh” Omel Tiffany
Raja hanya terkekeh saat melihat Samudra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tiffany sangat protektif terhadap kesehatan orang-orang di sekitarnya.
Tiffany meminta Samudra untuk menunggu agar Tiffany buatkan sarapan untuk mereka berdua. Sebelum selesai, Kaitlin dan Raja memindahkan diri mereka di gazebo apartemen Raja. Meninggalkan Samudra dan Tiffany yang membutuhkan ruang untuk mereka berdua.
Kaitlin duduk sambil menatap langit yang tampak cerah pagi ini. Hiruk pikuk Jakarta di hari Minggu pagi cukup lengang, pasalnya jam menunjukkan orang-orang masih sibuk ber Car Free Day yang hanya ada di setiap hari Minggu. Kaitlin menoleh ke belakang, terlihat Tiffany dan Samudra menghabiskan makanan mereka dengan tawa.
Kaitlin tersenyum, mengingat Tiffany adalah orang yang dingin, melihat pemandangan di depannya, membuat Kaitlin paham dan mengerti, Samudra adalah orang yang tepat yang bisa membuat sifat Tiffany mencair sedikit demi sedikit.
Raja kemudian duduk di sebelah Kaitlin, membuka tutup soda yang ia genggam dan menyerahkannya ke Kaitlin. Kaitlin menoleh ke arah tangan Raja yang menggenggam kaleng soda di depannya.
“Kali ini aja” Ujar Raja menenggak sodanya sebelum Kaitlin memerahinya. Kaitlin dan Tiffany beda tipis. Soal kesehatan orang terdekat mereka, mereka akan protektif sekali. Apalagi Kaitlin tau kondisi Raja.
“Ini terakhir, ya?” Pertanyaan Kaitlin hanya dijawab dengan anggukan oleh Raja.
Kaitlin ikut menenggak sodanya. Terdiam lama dengan isi kepala mereka masing masing. Kaitlin menghela nafasnya dan meletakkan kaleng sodanya, kemudian menatap Raja lekat.
“Jadi, gimana, Ja?”
Raja menoleh ke arah Kaitlin “Apanya?”
“Mengenai pengobatan kamu, kamu mau lanjutkan, kan?” Ujar Kaitlin ragu.
“Nggak” Ujar Raja singkat menenggak sodanya.
“Ja..”
“Nggak akan merubah apa-apa, Lin. Kamu tau sendiri”
“Tapi apa salahnya sih, Ja, kita coba. Manatau berhasil. Kita nggak akan tau kalau kita nggak pernah coba”
“Yang rasain sakitnya aku, Lin. Orang lain nggak akan tau rasanya selain aku. Jadi untuk apa perpanjang hal yang aku udah tau akan berakhir menyakitkan?”
“Kita coba, Ja” Mohon Kaitlin sekali lagi
“Nggak ada jaminan untuk sembuh kalau aku mengikuti pengobatan itu. Yang ada aku memperpanjang rasa sakit ku”
“Aku jaminannya, Ja. Aku akan temani kamu melewati hari-hari sulit kamu. Aku akan temani kamu kemo dan terus ada di samping kamu. Ya, Ja?”
Raja menghela nafasnya “Jangan bahas ini dulu, bisa nggak?”
Raja beranjak dari duduknya, meninggalkan Kaitlin yang mengusap wajahnya. Melihat Raja masuk dengan wajah tertekuk, Tiffany memandang ke arah Kaitlin yang tampak menghela nafasnya berkali-kali. Seolah mengerti, Tiffany menghampiri Kaitlin dan duduk di sebelahnya.
“Kenapa lagi?”
“Dia tetap nggak mau melanjutkan pengobatannya, Ti” Kaitlin menyandarkan kepalanya yang kini pandangannya tepat memandang langit luas.
“Gue dan Sam sudah pasrah, Lin, sebenarnya. Gue nggak mau memaksa Raja untuk merasakan sakit itu lebih lama. Dia sudah jauh lebih lama merasakan sakit sebelum kita tau” Tiffany melirik ke arah Kaitlin yang tiba-tiba memejamkan matanya
“Jadi, lo siap kehilangan Raja dalam waktu dekat?”
“Nggak ada yang pernah siap dengan kehilangan. Siap nggak siap, hari itu pasti akan datang. Hari dimana kita akan merasakan kehilangan orang yang kita sayangi. Kita nggak bisa mengelak dari perasan kehilangan itu”
Tiffany menoleh ke arah Kaitlin “Nggak akan pernah ada yang siap, Lin”
“Biarkan Raja memilih jalan hidupnya. Apapun yang terjadi, kita temani Raja sampai akhir” Tiffany menyentuh lembut bahu Kaitlin yang menganggukkan kepala.
“Soal lo dan Dwiky, gimana?”
Kaitlin menghela nafasnya “Gue akan coba mengakhiri hubungan kami”
Mendengar pernyataan Kaitlin membuat Tiffany terdiam. Apakah sebesar itu Kaitlin masih mencintai Raja hingga ia rela kehilangan Dwiky yang mereka yakini begitu mencintai Kaitlin?
“Lo yakin?” Kaitlin menganggukkan kepalanya.
“Semenjak gue tau keadaan Raja dan alasan Raja pergi tinggalin gue waktu itu, perasan gue ke Raja kembali seperti semula. Setengah hati yang dia bawa pergi, kembali lagi ke gue. Dan hati yang gue kasih ke Dwiky nggak seberapa, Ti”
“Terkesan jahat memang gue, menjadikan Dwiky pelampiasan. Tapi jujur, dari dalam lubuk hati gue yang paling dalam, guepun nggak mau memutuskan hubungan gue dengan Dwiky”
Kaitlin menatap Tiffany “Gue mau dua-duanya, Ti. Tapi gue tau, gue nggak boleh serakah. Gue harus memilih. Dan pilihan gue sekarang ada di Raja. Terlepas berapapun sisa usianya”
Tiffany menghela nafasnya, air mata Kaitlin menetes dan Tiffany menghusapnya lembut “Gue tau ini berat buat lo memilih, Lin. Tapi gue harap lo nggak salah ambil keputusan”
Tiffany menggenggam kedua tangan Kaitlin “Gue sebagai sahabat lo, akan menghargai apapun keputusan lo saat ini. Oke?”
“Lo harus pikirkan ini dengan matang”
***
Dwiky terbangun dari tidurnya, ia menoleh ke arah jam yang ada di sampingnya, pukul dua belas siang. Begitulah Dwiky jika tidak memiliki agenda apapun di hari minggunya. Ia akan bangun sesiang mungkin. Ia meraih ponselnya, membaca pesan Kaitlin yang berkabar bahwa gadis itu menuju ke apartement Raja bersama Tiffany.
Dwiky menghela nafasnya, kemudian menyibak selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Dwiky menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Dwiky menatap pantulan itu lama. Dalam benaknya, Dwiky berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Selama ini, apakah ia orang yang tidak pantas di cintai? Hingga ia harus selalu kehilangan? Dwiky merasa, ini adalah awal dari kekalahannya.
Dwiky memilih turun dan makan bersama kedua orang tuanya. Hubungannya dengan orang tuanya perlahan berjalan dengan baik karena pengaruh Kaitlin yang membuat Dwiky mau mendekatkan diri kepada keluarganya. Meskipun masih ada rasa canggung, Dwiky akan terus mencoba menerima keadaan keluarganya.
Ambar yang menatap Dwiky turun dan berjalan ke arah mereka, membuat Ambar mengikut pekan lengan Sena sambil tersenyum. Sena hanya terdiam dengan senyum tipis di bibirnya. Sena tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya melihat perkembangan Dwiky yang semakin dekat dengan mereka meski tak seintens dulu. Ini semua berkat Kaitlin. Dan Sena berterimakasih untuk itu.
“Sini sayang, tante kebetulan masak makanan kesukaan kamu, nih” Dwiky mengangguk dan tersenyum. Ambar langsung mengambil piring untuk Dwiky dan meletakkannya di depan Dwiky.
“Terima kasih” Kemudian Dwiky menyantap masakan Ambar. Setelah makanan itu sempurna sampai di lidahnya, Dwiky berhenti sejenak. Rasa ini, persis seperti masakan almh mamanya. Bagaimana mungkin?
Dwiky menoleh ke arah Ambar, Ambar menatap Dwiky meminta saran. Melihat wajah Dwiky yang tidak ada ekspresi, membuat Ambar mengernyitkan dahinya “Kenapa, Ky, nggak enak, ya?”
“Aduh maaf, Tante gan-“
“Ini persis masakan mama, Tan”
“Jadi, enak?” Mendengar pertanyaan Ambar, Dwiky hanya menganggukkan kepalanya. Ambar tersenyum senang dan mendapati Sena menganggukkan kepalanya
“Tante belajar dari buku resep mama kamu, Ky. Nanti tante pelajari lagi, ya, makanan kesukaan kamu”
Dada Dwiky menghangat, selama ini Dwiky benar-benar abai. Ia tidak pernah menyempatkan diri hanya untuk sekedar makan masakan Ambar. Padahal Ambar mencoba semaksimal mungkin untuk menerima pengakuan darinya. Selama ini Ambar berusaha keras agar Dwiky melihatnya sebagai ibu, meskipun hanya sekedar ibu sambung.
Sesaat setelah mereka selesai makan siang, Sena pamit pergi menemui koleganya. Setelah menutup pintu, Ambar berbalik dan menatap Dwiky yang berdiri di ujung tangga.
“Loh, kamu hari ini nggak ada acara sama Kaitlin?” Ambar mendekat ke arah Dwiky yang kini duduk di meja makan yang sudah kosong.
“Nggak, Tan. Makanya hari ini aku mau di rumah aja, istirahat”
Ambar telah selesai membereskan dapurnya selepas makan siang. Kemudian Ambar mengingat bahwa ada sesuatu yang mungkin bisa membuat Dwiky senang.
“Oh iya, hampir lupa Tante” Ambar berjalan menuju kulkas dan mengeluarkan puding coklat favorit Dwiky.
“Tante bikin ini, belajar dari resep mama kamu juga, sih. Semoga mirip-mirip, ya, rasanya”
“Aku coba ya” Ambar hanya menganggukkan kepalanya dan duduk di sebelah Dwiky. Setelah menyendok pudingnya, Dwiky tersenyum. Lagi-lagi Ambar berhasil.
“Persis, Ma”
Kata “ma” yang keluar dari bibir Dwiky membuat Ambar terdiam. Mencoba acuh karena Ambar rasa Dwiky hanya salah bicara.
“Bolehkan, Tan, aku panggil tante mama?”
Mata Ambar langsung berkaca-kaca, Ambar langsung mengangguk dan mencoba memeluk Dwiky. Dwiky membalas pelukan Ambar yang kini tengah menangis terharu.
Akhirnya, akhirnya Ambar mendapat hal yang selama ini ia inginkan. Dwiky menganggapnya ibu. Semua usahanya tidak sia-sia saat ini.
“Maaf, Ma, kalau selama ini aku bersikap nggak sopan dan jahat ke mama”
“Nggak, Ky, nggak, mama tau hari ini akan segera datang dan mama berterimakasih untuk kelapangan hati kamu mau menerima mama”
Ambar melepas pelukannya, menatap Dwiky “Sekarang, apapun yang kamu butuhkan, mama akan usahakan. Kamu mau makan apa, mama akan usaha masakin seenak mungkin buat kamu. Atau kalau kamu butuh teman cerita, mama akan siap dengar semua cerita kamu. Ya?” Dwiky mengangguk dan lagi-lagi Ambar memeluknya erat.
Semua bahagia dan sedih akan selalu datang di waktu yang tepat. Tuhan tau, apa yang kau butuhkan. Tuhan tidak mengabulkan doamu bukan karena Ia tidak sayang. Itu karena waktu yang sudah ia tentukan adalah waktu terbaik.
Percayalah, Tuhan tidak akan pernah jahat kepada hambaNya. Percayalah, Tuhan selalu ada bersamamu. Bahkan saat kau tak mempercayai ia ada. Bahkan saat kau tak mempercayai, bahwa dunia ini tidak pernah adil.
***Selamat membaca and i love you, guys.
Big Love
Cayon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We? [Completed]
Teen FictionCinta akan membawamu pulang kepadaku. Meskipun langkahmu sudah terlalu jauh, aku yakin, kau akan kembali pada orang yang kau sebut rumah, yaitu aku.