Gianna yang sedang duduk berjongkok di lantai tak bergeming ketika mendengar derit pintu kamar di belakangnya terbuka. Dia masih tetap pada posisinya memunggungi pintu.
Ketika Marvin sudah berdiri menjulang di depannya, baru lah Gianna mendongakkan kepalanya. "Tadi tuh harusnya lo ngabarin gue dulu kak kalo ada kakak lo di sini. Tau gitu kan gue nggak akan langsung masuk gitu aja."
Marvin mengulurkan tangan kanannya, mengisyaratkan agar wanita itu berdiri. Namun Gianna tak kunjung menerima uluran tangan tersebut, dia hanya menatap pria itu dengan tatapan bersalah. "Lo pasti kena marah gara-gara gue ya?"
"Nggak sama sekali."
Kening Gianna mengerut tidak percaya. "Masa sih lo nggak dimarahin? Aneh banget."
Sepertinya apa yang selama ini Gianna bayangkan tentang gaya hidup para anak konglomerat itu tidak benar. Dia kira perilaku menyeleweng Marvin akan ditanggapi serius oleh keluarganya. Namun melihat Marvin yang kini tampak baik-baik saja, dugaan Gianna bisa jadi salah total.
Marvin menunduk dan menarik uluran tangannya yang sejak tadi diabaikan oleh Gianna. Dia baru menyadari jika alasan wanita itu duduk berjongkok di lantai adalah untuk memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas berukuran sedang.
Wanita itu sedang bersiap-siap untuk pergi dari apartemennya. Sesuai kesepakatan awal, Gianna memang sudah menepati janji untuk menginap selama 3 malam di sini.
"Can you stay here for a few more days?" Marvin mengelus puncak kepala Gianna yang masih berjongkok tepat di bawahnya.
"Kan perjanjian cuma 3 hari."
"Lo nggak betah di sini?"
"Bukan gitu. Gue sih betah-betah aja sebenernya, tapi mau gimanapun juga, gue punya kehidupan sendiri. Jadi gue nggak bisa ada di sini lama-lama."
Marvin mengangguk mengerti untuk alasan itu. Namun dia masih ingin mencoba peruntungannya dengan melakukan penawaran. Dia turut berjongkok agar bisa berbicara dengan Gianna dari posisi yang lebih dekat. "Kalo sewaktu-waktu gue butuh lo gimana Gi?"
"Telfon aja. Selama gue bisa, gua bakalan dateng kok. Tapi lo harus tau waktu ya, jangan seenaknya tengah malem atau pagi-pagi banget nyuruh gue kesini."
"Gue nggak bisa janji kalo itu." Marvin tidak tau kapan sekiranya dia akan membutuhkan Gianna, jadi dia tidak mau menjanjikan sesuatu yang tidak pasti.
"Terserah. Gue sih nggak bakalan dateng."
"Kalo gitu gue aja yang nyamperin lo gimana?"
Gianna melotot, ekspresinya menujukkan bahwa ia keberatan dengan ucapan Marvin. "Nggak boleh. Kosan gue peraturannya ketat. Ntar yang ada gue diusir lagi."
"Bagus dong. Tinggal cari kos baru yang lebih bebas biar gue bisa keluar masuk kapan aja." Kebetulan kos Gianna memang lokasinya lumayan jauh dari apartemennya yang berada di kawasan SCBD, sehingga dia dengan senang hati akan merekomendasikan Gianna pindah agar bisa tinggal di tempat yang lebih dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Benefits [✓]
ФанфикMarvin dan Gianna memang telah sepakat untuk menjalin hubungan yang cukup rumit tanpa melibatkan perasaan di dalamnya. Namun mereka bisa apa jika takdir malah berkata sebaliknya? ©️zrstly, 2022