Marvin berjalan gontai dengan ekspresi datar. Pertemuannya dengan Kezia barusan berhasi membuat suasana hatinya kian memburuk. Pria itu tiba-tiba saja berpikir jika masalah yang menimpanya sekarang adalah karma dari Tuhan. Mungkin ini memang harga yang harus dia bayar karena di masa lalu dia kerap menyakiti hati banyak perempuan.
Tapi kalau Marvin diizinkan untuk meminta, dia tidak ingin melibatkan Gianna di dalam sesi penebusan dosanya. Sudah cukup wanita itu menderita sepanjang hidupnya, Marvin tidak ingin melihatnya semakin terluka.
Namun harapannya itu langsung sirna ketika dia mendengar suara tangisan di depan pintu kamar yang ditempati Gianna.
Langkah Marvin otomatis terhenti. Dia memejamkan mata sebentar sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. Pintu yang tertutup rapat sama sekali tak membantu meredam suara tangisan Gianna. Marvin masih bisa mendengar rintihan pilu itu dengan sangat jelas.
Di salam sana, Gianna tengah membenamkan wajahnya di ranjang seraya menangis tersedu-sedu. Untungnya dia tidak menangis sendiri karena masih ada Karin yang setia menemaninya.
Cukup lama Marvin berdiri di depan pintu dalam diam. Pria itu merasa sangat gusar sekarang. Ia pun akhirnya mengusap wajahnya kasar sebelum memantapkan hati mengetuk pintu sebanyak dua kali.
Karin yang sedang duduk tepat di samping Gianna pun lantas menoleh. Dia langsung berdiri dan membukakan pintu.
Samar-samar Marvin bisa melihat ada jejak air mata di wajah kusut Karin. Dia menduga jika wanita itu juga sempat ikut menangis bersama Gianna beberapa saat yang lalu.
"Makasih udah mau bantuin Gianna, Rin. Malem ini biar gue yang ngurusin dia. Lo istirahat aja, udah malem."
Karin mengangguk pelan. Dia membalikkan badan untuk melihat ke arah Gianna sebentar sambil berkata, "Selama gue temenan sama Gianna, gue nggak pernah liat dia nangis sampe segininya, kak."
Kalimat Karin membuat Marvin semakin merasa bersalah. He couldn't help but blame himself for what happened to Gianna this night. Andai saja dia bertindak tegas di awal dengan langsung mengusir Jefrian dan Raline, pasti Gianna tak akan berakhir seperti ini.
"Tolong jagain Gianna ya, kak! Kalo bisa lo temenin dia di sini sampe pagi. Gue takut dia punya pikiran aneh-aneh saking stressnya," pinta Karin dengan wajah memelas.
"I won't leave her." Marvin menepuk lengan Karin, kemudian segera menambahkan, "Gih balik ke kamar. Jerico pasti lagi nungguin lo."
"Yaudah, gue ke kamar dulu. Nanti kalo ada apa-apa sama Gianna hubungin gue ya, kak."
"Iya."
Bersamaan dengan Karin yang melangkah pergi, Marvin masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintu. Pria itu juga menyempatkan untuk menutup semua gorden dan jendela.
Setelah memastikan kamar telah tertutup sempurna, Marvin mendekat ke arah Gianna yang masih tetap di posisinya semula, yaitu duduk membelakanginya di lantai dengan kepala terbenam di ranjang. Tangisan Gianna memang sudah tak sekeras tadi, tapi masih ada suara-suara sumbang yang keluar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Benefits [✓]
FanfictionMarvin dan Gianna memang telah sepakat untuk menjalin hubungan yang cukup rumit tanpa melibatkan perasaan di dalamnya. Namun mereka bisa apa jika takdir malah berkata sebaliknya? ©️zrstly, 2022