Gianna boleh saja bersama Marvin, tapi kini otaknya justru sedang memikirkan pria lain. Pengakuan cinta dari temannya barusan membuat wanita itu kembali mengingat-ingat momen kebersamaannya dengan Haikal.
Mulai dari bagaimana mereka bertemu saat hari pertama masuk sekolah, lalu Haikal yang memang sangat pandai bergaul lebih dulu mengajaknya berteman.
Itulah kenapa meskipun Gianna memiliki banyak sekali kenangan buruk semasa sekolah, dia mampu melewatinya. Alasannya hanya karena satu orang. Tak lain dan tak bukan adalah karena Haikal.
Ketika semua teman-teman kelas menindas Gianna, Haikal menjadi satu-satunya teman yang membela si gadis kecil tersebut. Sifat Haikal yang kocak dan ramah dipastikan akan langsung hilang begitu melihat Gianna diolok-olok oleh teman-temannya.
Apalagi semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, kemudian Bibi dan Pamannya pergi meninggalkannya entah kemana, bisa dibilang sejak saat itu Haikal menjadi satu-satunya tempat Gianna bersandar.
Nyaris tak ada satu pun rahasia tentangnya yang tidak diketahui oleh pria itu. Dan dari semua sisi gelap yang turut mewarnai hidupnya, siapa yang menyangka jika Haikal malah berakhir mencintainya?
Tidak. Gianna bahkan tidak pernah membayangkan hal itu terjadi. Tidak pernah barang sekalipun.
Kemurungan Gianna sejak sore tadi nyatanya tidak lepas dari perhatian Marvin. Pria itu menyadari jika ada sesuatu hal yang sedang mengambil alih fokus pacarnya.
"Sayang."
Marvin memanggil Gianna untuk menyadarkannya. Namun hingga beberapa saat, tidak ada respon apapun yang dia terima. Gianna masih diam dengan pandangan lurus ke arah ponselnya yang tergeletak di meja. Lagi-lagi tertangkap basah sedang melamun entah karena apa.
"Gianna." Kali ini Marvin memanggilnya dengan suara yang lebih keras hingga membuat wanita itu sedikit tersentak kaget karenanya. "Hah? Iya, apa?"
"Kamu lagi mikirin apa? Daritadi ngelamun aja aku perhatiin."
Gianna sedikit mendongak untuk menatap Marvin yang kini sudah berdiri menjulang tepat di depannya. Ada perasaan takut dan cemas yang menyelimutinya. Bukan takut pada Marvin, tapi dia takut pada dirinya sendiri.
Dia takut goyah.
"Masih mikirin kejadian kemaren?" Pertanyaan Marvin itu ditanggapi gelengan lemah oleh Gianna. "Enggak."
"Terus kenapa? Gara-gara nggak enak badan? Mau aku anter ke Rumah Sakit?" tanya Marvin lagi sambil mengelus puncak kepala Gianna dengan penuh kasih sayang.
Tapi lagi-lagi Gianna menjawabnya dengan gelengan tanpa tenaga. "Nggak usah."
Marvin pun merendahkan tubuhnya untuk duduk berjongkok di depan sofa yang tengah diduduki Gianna. Tangannya terangkat untuk meraih salah satu tangan wanita itu, lalu menggenggamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Benefits [✓]
FanfictionMarvin dan Gianna memang telah sepakat untuk menjalin hubungan yang cukup rumit tanpa melibatkan perasaan di dalamnya. Namun mereka bisa apa jika takdir malah berkata sebaliknya? ©️zrstly, 2022