Aku begitu ingat, bagaimana melekatnya kata-kata Ibu sewaktu dulu kakiku baru akan menapak lantai kelas satu Sekolah Dasar.
"Jangan cengeng, Nila! Apa pun yang terjadi, kamu harus mandiri! Jangan bergantung pada siapa pun! Bahkan pada ibu!"
Telunjuk beliau bahkan bergerak-gerak di depan wajahku yang sembab dan memerah sebab tak mau dipaksa mengikuti kemauan Ibu untuk sekolah. .
Bagiku, semuanya tak lebih dari mengerikan. Namun, akhirnya aku benar-benar melakukannya. Selepas Ibu mengantar hingga gerbang, dengan ragu kuperhatikan langkah cepatnya yang mulai menjauh. Bahkan ia tak tampak perlu repot-repot menoleh sama sekali.
Di waktu itu, dadaku berdetak berkali lipat lebih cepat dengan badan seluruhnya gemetar.
Di bagian terluar sekolah, aku masih berdiri. Di belakang gerbang tanpa ada sedikit pun niat untuk masuk. Yang kulakukan hanyalah memperhatikan dengan gusar anak-anak yang riuh bermain. Memilin-milin jemari tanpa henti. Nyaris menangis andai tak ditahan oleh perasaan malu yang membuat ragu.
Sebersit bisikan kecil mulai memengaruhiku untuk segera menjauh dari sana dan pulang. Meringkuk di bawah selimut dan tidur hingga siang menjelang. Jangan pergi sekolah. Jangan pergi bertemu guru galak. Gambaran mengerikan itu kuperoleh setelah melihat anak laki-laki tetangga sekitar rumah diseret dalam keadaan menangis hebat di depan rumahku.
Dia meraung, berusaha kabur dari pegangan si ibu. Berteriak-teriak sepanjang jalan setapak bahwa ia tak mau kembali sekolah sebab sebelumnya dihukum dengan pukulan rotan kecil.
Ibu telah lama mengiming-imingiku suasana sekolah yang menyenangkan. Bisa memiliki banyak teman, belajar bersama mereka, berbaur, dan yang terpenting, aku harus mendapat pengakuan paling pantas atas hasil belajarku.
"Kamu tuh pinter. Jadi, jangan gampang ngalah. Temen ya temenan. Tapi inget, mereka itu lawan kamu yang juga pengen jadi juara satu."
Ketika tiba hari itu, entah mengapa, melihat anak-anak memakai seragam lengkap, nyaris membuatku benar-benar berbalik demi langkah pulang, andai tak ingat pada ancaman Ibu di rumah.
Hanya aku, siswa baru—yang juga telat mendaftar di waktu hampir kenaikan kelas—yang memakai setelah kaos balon berwarna ungu dengan bawahan celana legging hitam. Memakai sepatu bekas milik anak tetangga yang secara sukarela dia berikan. Juga tas merah dengan motif stroberi, yang benda itu sama-sama sumbangan. Kuciran rambut tak henti kupelintir. Gugup, takut, bahkan mual menguasai.
Satu hal itu membuatku sadar. Bahwa aku ... takut akan orang baru. Takut akan reaksi mereka. Takut akan bagaimana mereka melabuhkan pandang pada diri ini dan itu terjadi sejak masaku masih belia. Sangat belia.
Bahkan hingga sekarang.
"Nila mau pesen apa?"
Bi Asih bertanya. Namun, aku lebih dulu memperhatikan kedua orang yang sama-sama berdiri memesan di kantin. Mereka turut memandangku. Melepas kesibukannya ketika melihat-lihat makanan dalam konter.
Ah, tidak. Perasaan tak nyaman itu datang lagi.
"Nanti aja, Bi. Aku duduk nunggu dulu."
Begitu, aku mengambil posisi untuk duduk di bangku panjang bagian terjauh. Meski mungkin akan memakan sedikit banyak waktu, itu tak masalah sama sekali. Setidaknya, demi meredakan rasa gugup dan takut itu.
Mengantre terakhir tak apa-apa. Asal orang-orang itu bisa segera lebih dulu pergi. Namun, hingga waktu berlalu, justru anak-anak yang datang ke kantin lebih banyak. Bahkan, mereka membuat antrean panjang yang mencipta kecemasanku makin menguap ke permukaan. Bodoh! Seharusnya memang lebih baik aku mendengar Ibu untuk tak megabaikan sarapan di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Genç Kurgu[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...