Tepat pukul enam, aku tiba di rumah.
Tidak seperti bayangan di mana aku menggambarkan keadaan rumah akan sepi tanpa siapa pun, justru keadaan menjadi benar-benar berbeda.
Lampu teras dan ruang depan yang tampak dari jendela sudah dihidupkan. Pintu terbuka. Sementara halaman berumput yang kuinjak sekarang tercetak sedikit noda lumpur memanjang. Tampak seperti bekas roda kendaraan.
Apa ada tamu?
Aku menaiki undakan. Tak serta merta masuk. Alih-alih, tubuhku bergeming di ambang pintu. Memperhatikan meja kayu berbalut taplak putih bermotif bunga yang tak lagi bersih seperti biasa. Ada noda coklat basah yang tumpah di atasnya.
Jika kutarik kembali memori-memori terlewat, bekas semacam ini sepertinya sudah menempati kotak kenangan dan masa kecilku begitu lama, tetapi juga terasa singkat. Sebelum akhirnya takdir membawanya tanpa ganti. Hanya, aku tak mau berasumsi lebih jauh dan berharap pada hal yang nihil. Maka, kutepis angan-angan itu. Tidak akan mungkin.
Pasti seseorang lain yang berkunjung. Orang itu sempat duduk di kursi kayu depan meja dan mengobrol. Entah membincangkan apa dengan Ibu. Namun, siapa?
Sebelum aku berhasil menarik taplak untuk dibawa ke kamar mandi, Ibu yang entah kapan telah muncul datang mencegah tanganku yang sudah berancang di udara.
"Biar ibu yang cuci nanti. Kamu ganti pakaian dulu aja."
Aku terdiam dengan kejutan kecil. Hingga Ibu memanggil kembali, barulah aku mengangguk, lantas menyingkir. Tiga langkah. Sebab masih merasa aneh, aku berbalik demi menilik Ibu yang sekarang tengah bersimpuh mengibas-ngibas noda di atas meja. Menarik taplak hingga membentuknya menjadi gulungan asal dalam dekapan.
Sikap Ibu yang satu ini juga, mengapa .... Apa yang sudah kulewatkan?
"Kamu mandi dulu sana. Ibu mau angetin lauknya."
Aku hanya menurut. Bergegas ke kamar tanpa mampu menuntaskan penasaran dengan bertanya.
Meski perut telah penuh berkat nasi goreng Kak Nia, aku mengiyakan begitu Ibu memanggilku yang tengah berganti pakaian untuk segera menghampiri meja makan.
Ingin sekali kukatakan apa yang sebenarnya sore tadi terjadi. Bahwa aku tak ke rumah Ari atau Dika seperti saran beliau. Alih-alih, keterjebakan di rumah Wisnu sudah menghalangi niatku untuk pulang. Namun, tidak. Aku tidak akan mengatakan apa pun.
Ajaibnya, di sesi makan malam kali ini, Rika tampak lebih bersemangat. Raut lesunya menguap begitu saja seolah gadis itu tak pernah pundung sebelumnya. Dia juga bersih. Rambut keriting sebahunya yang tak dicuci dan disisir tiga hari dalam waktu berkurungnya di kamar, telah rapi oleh ikat rambut hitam berkepala kucing putih.
Aneh. Jelas sangat aneh.
Bahkan aku yang mengira dan telah mempersiapkan telinga bahwa sesi makan ini akan diisi oleh pertanyaan Ibu perihal sekolah dan bagaimana kelancaranku atas pelajaran, justru tidak ada satupun yang benar terjadi. Alih-alih, makan malam kami benar-benar hening tanpa suara obrolan kecil yang terasa mencekik.
Hanya suara sendok, lalu masing-masing kunyahan dan teguk air yang membasahi kerongkongan. Juga suara Lusi di bawah meja yang tak hentinya menarik-narik celana panjang yang kukenakan, sesekali mencoba naik ke satu kursi kosong di sebelah. Kucing itu baru diam setelah kulempari kepala ikan utuh.
Makan malam pun berakhir begitu saja. Tak ada peringatan Ibu untuk belajarku dan Rika. Tak ada tagihan penjelasan seberapa lancar aku akan menghadapi semester akhir nanti.
Lebih aneh lagi, aku tak sengaja memergoki Ibu yang memandangiku dan Rika secara bergantian. Berbeda dari tatapan tajam beliau sebelumnya, kali ini pandangannya melembut, dalam, dan ... kurasa tersemat harapan dalam binarnya yang jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...