34: Tak Bisa Dihubungi

15 5 0
                                    

Bayu masuk hari ini, kudengar begitu dari Ari karena gadis itu datang sedikit lebih lambat dari waktu biasa. Ia bercerita telah berpapasan dengan beberapa gadis yang berbisik-bisik di halaman sekolah. Mengenai kehadiran Si Kapten Basket yang mendadsk absen selama seminggu ini, juga lilitan kain kasa yang ada di lengan anak itu.

"Sumpah, deh. Dia ngapain, sih? Seminggu lebih enggak masuk abis itu dateng-dateng udah diperban aja. Menurutmu, ada sesuatu yang dia lakuin enggak, sih, La? Kayak orang-orang depresi di film-film gitu, lho!"

Ari buru-buru menghabiskan es dawet berbungkus plastik dengan sedotan besar untuk selanjutnya melempar ke tong sampah.

Untuk hari ini, entah atas inisiatif apa, Ari dengan senang hati mengikuti langkahku ke perpustakaan. Seharusnya, itu bagus dan aku tak perlu heran. Lebih baik berpikir bahwa mungkin gadis itu sudah jenuh menonton permainan basket anak-anak. Atau bisa saja usaha mandirinya mendekati Adin berakhir gagal.

Selama kuperhatikan, mereka tak ada kemajuan seperti apa pun. Dalam hati, sedikitnya aku senang dengan hal itu. Aku lebih suka jika Ari, sahabatku, lebih memikirkan bagaimana tugas dan pelajarannya adalah yang paling utama.

Masalah penghiburan batin, itu hal lain yang bisa didapatkan selain hanya dengan mengenyam asmara di masa muda. Aku tidak menentang soal hubungan lawan jenis remaja, terlebih di masa sekarang yang serba bebas.

Hanya, entah mengapa selalu ada hal mengganjal tiap kali aku terpikir untuk membahas sesuatu seperti itu. Ada batasan, dan aku tak boleh melangkahinya, Ibu bilang.

Bayangan seperti itu akhirnya bermuara pada aku yang mengingat bagaimana hubungan Ayah dan Ibu.

Buang-buang waktu dan kesempatan.

Aku berhenti. Hanya berjarak satu meter dari pintu perpustakaan. Aku ingin menjawab kata-kata Ari dengan apa yang sudah terjadi. Soal perban itu. Soal mengapa hari ini Bayu kembali ke sekolah.

Aku tahu, karena aku sendiri yang bertemu Si Kapten Basket dan membebat kain kasa di lengannya yang terluka parah. Namun, sepertinya itu tidak perlu. Ari tak perlu tahu apa pun.

"Hush!" Tanganku mengibas. "Jangan berpikiran yang enggak-enggak! Gimana kalau ternyata dia kecelakaan atau ada musibah apa gitu? Makanya luka dan enggak masuk karena cedera."

Tahu-tahu, Ari menyikut lenganku sambil berdecak.

"Tapi bisa aja, lho! Dia emang beneran stres dan milih ngilang karena postingan seminggu lalu. Iya, nggak, sih? Seharusnya itu bener! Kalau dari pengamatanku, ini pasti berhubungan, La. Bukannya aneh kalau disebut terlalu kebetulan?"

Ari bersedekap, lalu tangannya membentuk kutip dua dengan jari telunjuk dan jari tengah setelah berbisik ke telingaku.

"Gara-gara foto RSJ itu, anak-anak pada heboh sampe nge-dm Bayu di IG. Dia juga enggak ada penjelasan apa pun, kan? Sampe enggak masuk sekolah, lho! Kalau cuma gosip, kenapa dia enggak bantah aja?"

Kuharap Ari akan berhenti agar kami cepat sampai ke perpustakaan. Sayang, saat ingin melanjutkan langkah, gadis itu bersuara lagi.

"Biasanya, nih, La, artis-artis pas ada rumor enggak bagus, kalau enggak buat klarifikasi, pasti ngilang karena emang bener!"

Ari tepat sasaran. Namun, aku tak ingin banyak membahas perihal Bayu dan apa yang sudah terlewat.

"Udah kubilang buat jangan banyak nonton gosip, film, sama drama kayak gitu! Suka mikir aneh-aneh, kan? Lagi pula, mungkin dia enggak suka nanggepin gosip."

Ari mencebik, lalu mendengkus.

"Ih, Nila enggak seru, deh! Itu bukan aneh, tapi nebak yang mungkin tepat sasaran."

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang