32: Luka dan Lana

21 8 0
                                    

Aku duduk mematung setelah Bayu menyebut nama lama yang sudah asing itu. Tidak tidak tidak! Apakah mungkin ia sungguh asing? Lana, Si Anak Gila. Bagaimana bisa bocah laki-laki kusut yang dulunya memiliki tubuh kurus tinggi sepantaran denganku tiba-tiba mewujud seorang remaja bertubuh tinggi atletis seperti sekarang?

Oh, tidak. Masa puber, dan mestinya aku tidak lupa, bahwa jam tangan mahal berkilau yang retak milik anak itu sudah menunjukkan identitas yang bisa menjamin tumbuh kembangnya.

Tidak. Ini ... sama sekali keliru!

Lana hanya sekilas menjadi temanku, dulu. Sesaat kenaikan kelas enam, dia sudah pindah sekolah dan tidak pernah bercerita banyak tentang alasannya. Apalagi mengenai sosok yang ia sebut Mama. Seperti keterangan yang Bayu berikan padaku.

Aku hanya tahu, Lana tidak suka bercerita apa-apa mengenai hal terkait diri sendiri anak itu. Ia tidak suka mengungkit wanita yang dulu menjadi biang bagaimana dirinya dijuluki dengan buruk oleh anak-anak Sekolah Dasar kami. Lana tidak menyukai pembahasan itu. Pula aku tak sekali pun penasaran dan ingin mengungkitnya.

Bayu telah berbohong. Dia pasti iseng mengerjaiku.

Kudorong kursi dengan punggung, beranjak dan nyaris melangkah jauh sebelum suara serak bergetar di belakangku menghentikan niat awal.

"Kamu dulu pernah bilang kalau aku cuma perlu tutup telinga buat omongan buruk orang-orang tentang Mama, Nila. Inget waktu kamu pernah jatuh dari tangga lantai tiga di SMP dulu?"

Kejadian empat tahun lalu. Pertama kali menapaki lantai kelas tujuh. Kakiku terkilir parah waktu itu. Ketika pulang, Ibu marah besar karena sepedaku dituntun oleh anak laki-laki. Aku berjalan bersisian dengan Lana sambil memegangi lutut. Setelah sebelumnya menolak keras untuk diantar naik mobil.

Lana juga sama keras kepala. Dia mengabaikan raut memelas bapak kurus berkumis putih yang membawa mobil jemputan untuknya. Alih-alih, bocah berantakan itu meminta supir pribadinya menunggu di depan gerbang sementara aku menyerahkan sepeda untuk dituntun.

Benar. Aku memang bertemu Lana kembali. Kami satu sekolah dan dia tetap sekelas denganku. Namun, berbeda dengan momen awal-awal pertemuan kami di Sekolah Dasar, semasa SMP, aku cukup sadar untuk segera menjauhi anak itu.

Lana yang kukenal di tahun berikutnya, tak lebih hanya memiliki ambisi untuk mengejar bola basket dan sibuk beralih menjadi pribadi lain yang sama sekali kontras. Bukan lagi Lana dengan cengiran yang biasa menampakkan gingsul kecilnya.

Lana di masa SMP, adalah Lana yang banyak digemari teman-teman. Lana yang memiliki banyak rekan. Dia seolah selebriti. Bukan lagi anak lelaki yang sering menghilang di jam-jam istirahat dan kembali ke kelas dengan penampilan berantakan.

Aku memang menjauhi anak itu. Lama sekali. Ketika menyadari bahwa kami salah untuk menjalin sebuah pertemanan, juga karena ketidakmampuanku membendung cemas untuk menerima teman lain yang pernah berusaha Lana kenalkan. Dia banyak teman, sementara aku lebih suka damai dan tenang dalam kesendirian. Jelas sangat kontras.

Terlalu menggelikan mungkin saat aku yang kala itu masih SMP malah berpikir mengenai nasihat Ibu tentang orang asing. Bahwa mereka adalah penjahat, terlebih yang memiliki riwayat hidup makmur dalam banyak hal. Terutama ekonomi.

Lelaki dan perempuan tak bisa memilin relasi seperti itu. Aku dengan Dika? Itu hal berbeda. Lagi pula, jarak status sosialku dan Bayu selalu berhasil mengingatkanku pada Ibu yang dibuat menangis oleh Bibi dan keluarga Ayah yang lain. Terutama Kakek dan Nenek yang sekarang tak pernah kudengar lagi kabarnya di kota seberang.

Aku sama sekali tak kecewa atau senang waktu itu. Aku ... hanya sadar diri.

Tidak. Bayu berbohong. Dia pasti bukan Lana. Bukan bocah ingusan yang berantakan dan nakal itu. Aku berkedip sekali hingga mengerut kening demi memahami semua ini.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang