Sekolah sepenuhnya sepi ketika beberapa waktu yang lalu Ari memilih menyerah membujukku untuk pulang bersama. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau gadis itu telat kembali ke rumah demi menemani diri ini yang masih diliputi rasa cemas.
Meski awalnya enggan untuk berbagi, akhirnya kuceritakan apa yang kudapat dari penelepon itu, tentu saja dengan banyak kebohongan.
Jelas, Ari terkejut dan tak menyangka—tetapi segera raut wajahnya kembali ceria, seolah masalah ini memang bukan apa-apa untuk kukhawatirkan—dan kembali menebak bahwa aku diam-diam menyukai seseorang bahkan memberiku godaan sebagai pertanda tentang kelanjutan suatu hubungan yang sama sekali tak pernah kupikirkan ada dalam daftar impian masa SMA.
Tidak pernah. Tidak akan sampai kapan pun. Aku yakin. Aku hanya ingin menjadi anak teladan. Harus menjadi anak patuh dan baik seperti yang sering Ibu katakan ketika beliau mengingatkan mengenai kesalahan-kesalahan yang mesti kuperbaiki.
Aku akan membuat daftar panjang itu tanpa sedikit pun memberi goresan merah di tengahnya.
Kutinggalkan tas di meja, sementara berjalan menuju pintu. Memeriksa luar kelas benar-benar sepi atau belum.
Tidak ada siapa pun lagi sekarang. Benar-benar sepi. Aku bisa pulang. Aku sungguhan akan pulang dengan nyaman kalau begitu. Tanpa tatapan dan kepalaku yang terus berpikir keras demi menebak maksud di balik pandangan aneh anak-anak nantinya.
Berbalik, niatku ingin bersegera mengambil tas. Namun, momen selanjutnya, nyaris, hanya nyaris kutendang tulang kering siapa pun yang telah secara tiba-tiba menggenggam erat pergelangan tangan begitu aku hendak berbalik menuju meja
Akan tetapi, keinginan dan amarah menggebu itu seketika hilang ketika aku sadar siapa sosok tinggi yang telah mencegahku. Alih-alih, mataku membulat dengan sekujur tubuh yang tiba-tiba membeku.
Tidak. Pasti ini mimpi buruk. Benar. Hanya mimpi buruk dan aku harus tersadar segera sebelum menjadi lebih tidak masuk akal.
"Nila?"
Tidak tidak tidak! Ada apa dengan suara itu? Dia ... suara serak itu benar-benar menyapaku? Oh, kumohon jangan.
Kalaupun ini mimpi buruk, kuharap akan segera bangun. Atau ini sebatas bayangan mengerikan. Namun, bila nyata, bagaimana jika ada yang tak sengaja melihat? Bahkan bisa saja gadis-gadis obsesif itu mengintip apa yang tengah Bayu lakukan di ambang pintu sekarang—menarik lenganku yang membuat kami hampir bertubruk badan.
Rasa terkejut itu akhirnya menguap ketika beberapa detik setelahnya aku tersadar. Secara cepat berusaha melepaskan genggaman itu. Berhasil. Aku mundur selangkah. Membiarkan kebisuan di antara kami mengambang sementara aku bergegas menuju meja demi mengambil tas. Segera keluar kemudian pulang. Benar, begitu.
Semula, aku ragu untuk melewati pintu yang di sana masih berdiri Bayu yang sejak awal memperhatikan gerak-gerik gelisahku dan mungkin anak itu akan menganggapnya aneh.
Terserah! Aku harus segera keluar. Ya ampun, Dika! Kuharap latihan vokal anak itu akan cepat usai dan dia menemuiku.
Langkahku makin cepat ketika terdengar tapak menyusul di belakang yang tak kalah mengentak keras pada bekas jejak tiap keramik yang kulewati.
Bayu memanggil-manggil namaku. Meminta berhenti. Berteriak beberapa kali hingga di kesempatan lain kudengar anak itu berdecak. Tidak ada waktu. Aku tak bisa menjebak diri berada dalam masalah. Sudah cukup bisik-bisik dan pandangan anak-anak sebab foto sialan itu!
Aku yakin bahwa hari ini merupakan salah satu hari apes yang Tuhan siapkan untukku. Kendati aku tak ingin menyalahkan-Nya, tetapi kekesalan dan jantung yang berdetak dengan tempo tak karuan nyaris membuatku menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...