36: Aku Benci Istilah Itu, Tahu!

17 6 0
                                    

"Tumben tasmu dikasih gantungan kunci? Enggak biasa gini, lho! Kamu kan enggak suka barangmu dikasih pernak-pernik."

Bukan tidak suka, tetapi aku hanya tak mau mereka tidak tampil secara asli dan alami.

Maksudku, benda-benda aneh yang sering meninggalkan bekas seperti stiker atau benda hiasan yang sedikit mencolok hanya sering membuat barang-barangku tampak lebih buruk. Namun, gantungan kunci kayu berbentuk kucing warna hitam ini berbeda.

Lagi pula, dia sudah lama tergeletak begitu saja di dalam laci tempatku menyimpan buku-buku lain, bersama plastik bening sebagai bungkusnya. Yang terpenting, benda ini sama sekali tak akan membuat barangku terlihat buruk.

"Lucu, deh!"

Sejak aku tiba di gerbang, Ari memang lebih memperhatikan gantungan itu daripada aku yang sempat menyapanya.

"Kasih tahu, dong, kalau beli di mana? Aku juga pengen, La!"

Aku terlalu sayang dengan uang untuk dibelikan barang-barang kecil seperti ini. Ah, bukan. Bukan menghina. Barang kecil yang kumaksud tertuju pada sesuatu barang yang disenangi. Yang dibeli hanya karena digemari. Bukan karena butuh. Bagiku yang sulit ini, hal itu tak lebih dari tindakan membuang-buang uang.

Lagi pula, ini pemberian. Akan percuma jika hanya menyimpannya di rumah. Bahkan sejak pertama mendapatnya, aku tak lagi menyentuh gantungan kunci ini karena berpikir akan digunakan untuk apa selain hiasan yang mengganggu.

Aku hampir memberikannya pada Rika andai tak membayangkan bahwa adikku itu akan bertanya dari mana mendapatkannya.

Aku juga tak mungkin untuk berterus terang bahwa benda itu kudapat dari Wisnu ketika kunjungan mendadaknya di pagi buta yang nyaris tepergok basah oleh Ibu.

Mengingat kejadian itu membuatku mendadak merinding. Andai, andai sedikit saja terlambat mendorong Wisnu keluar pagar, sudah bisa dipastikan aku akan mendapat pertanyaan yang pada akhirnya berujung pada ceramah panjang dan daftar beberapa aturan Ibu yang telah kucoret.

"Aku dikasih, Ri."

Kalau pun membeli, aku akan segera menyesal setelahnya karena menghabiskan uang dengan percuma.

"Pasti dari Dika, kan?"

Bibir Ari mencebik. Ia lepas tangannya dari mengamati gantungan kunci itu. Aku menaiki undakan dengan cepat selagi masih pagi dan keadaan sepi.

"Tuh anak kenapa, sih? Aku kalau minta sesuatu pasti selalu disinisin. Pas kamu kok dikasih-kasih aja? Padahal juga enggak bilang."

Apa yang harus kujelaskan? Benda kecil ini bukan dari Dika. Alih-alih barang, anak itu seringnya membagi makanan.

Perkara Dika jarang membagi sesuatu dengan Ari, alasannya pernah diungkapkan saat kami bertiga mengobrol di kelasku dulu.

"Ari anak orang kaya. Masa cemilan murah masih minta? Beli, lah! Uang jajannya aja duit merahan semua. Kalau kita, Nil, kan harus mohon ke 'ibu suri' dulu biar dikasih banyak."

Aku tahu Dika bercanda. Namun, kala itu Ari terbawa perasaan. Sepanjang obrolan, kecanggungan menyelimuti suasana kami. Bahkan ketika dengan tawanya Dika meminta maaf dan menjelaskan bahwa ia tak berniat begitu, Ari sudah telanjur marah. Gadis itu terdiam sambil sesekali melirik Dika dengan sinis.

"Bukan. Dika enggak pernah kasih aku benda kayak gini."

"Terus, dari siapa, dong? Apa jangan-jangan Bay—"

"Enggak, Ri. Bukan! Jangan terlalu halu, deh!"

"Yeee! Tapi bisa aja, 'kan? Anggep aja kalau kamu lagi beruntung."

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang