13: Bukan Begitu ....

32 10 4
                                    

Dulu, ketika pertama kali aku menyadari bahwa kaki yang sering gemetar ini akan melangkahi gerbang SMA, telah banyak pikiran-pikiran buruk yang membayangi.

Tiap kesempatan, aku menghitung: bulan, hari, jam, bahkan detik hanya demi memastikan bahwa hari pertamaku menjadi siswa berseragam putih abu-abu benar-benar tiba, bahwa adaptasi dan pengenalan lingkungan baru harus benar-benar kulakukan.

Orang baru, suasana baru, dan ini jelas bukan mimpi. Bukan. Bukan mimpi dan ketakutan yang sering kualami. Namun, lebih buruk dari itu.

Ketika harinya telah tiba, aku merasa harus memukul mundur semua langkah. Secara tiba-tiba, aku kembali menjadi terlalu paranoid mengenai suasana SMA yang menanti di depan mata.

Tentang orang-orang itu. Mereka asing. Asumsi aneh sepenuhnya kutolak meski tak bekerja dengan baik. Tidak tidak tidak! Apa yang akan terjadi apabila aku memasuki SMA nanti? Apakah akan lebih buruk dari masa-masa sekolah dulu? Akan bagaimana suasana di sana? Apakah orang-orang asing itu tak akan seburuk yang kupikirkan?

Selama nyaris satu jam duduk terdiam di depan cermin dan memangku seragam, pikiranku terus bergumul. Terus membayangkan hal-hal ganjil tanpa henti. Bahkan mengindahkan teriakan Ibu di depan pintu kamar, yang meminta agar aku bergegas sebab beliau juga terburu dengan pekerjaannya.

Hari pertama, Ibu bersikukuh mengantarku sekolah. Aku benci semua, sebenarnya. Namun, menepis dengan segala pemikiran bagus pun selalu percuma. Kepalaku terlampau berisik dan buruk.

Berulang, aku mengatakan bahwa ini hanyalah kegugupan tak berdasar, bahwa ini hanya kekhawatiran lumrah sebagaimana aku memasuki masa Sekolah Dasar dan Menengah Pertama dulu.

Seharusnya, dengan seluruh pengalaman itu, aku bisa lebih baik mengontrol gemetar, keringat, serta mual dan pening yang sering kali muncul di waktu-waktu merasa terancam dan tak nyaman.

Secara perlahan, aku berhasil dan memang tak seburuk dalam bayangan. Aku mampu melewati satu setengah tahun masa di SMA dengan tenang—maksudku, tak begitu tenang. Aku harus berjuang keras untuk itu.

Tanpa perhatian berarti orang-orang. Itu bagus. Seharusnya, memang begitulah diriku berada. Bersembunyi, menghindari tatapan menusuk mereka.

Sayangnya, sebab hari sial yang kualami di pekan-pekan lalu ini, perhatian-perhatian yang semula abai itu kini perlahan berpaling padaku, menusuk, lalu menarikku dalam terkaan gagasan mereka yang salah. Sangat salah.

Perkara foto yang tersebar begitu cepat, aku tak tahu bagaimana harus menangani keadaan.

Apakah membantah dengan mengatakan bahwa semua yang terlihat bukanlah seperti yang mereka duga, atau aku diam dan menunggu waktu mengikis segala praduga keliru anak-anak, atau bahkan ... aku menarik diri untuk beberapa saat demi menenangkan gejolak, atau lainnya lagi, aku harus bersembunyi.

Sebagaimana biasanya saat masalah tak terduga sedang menimpa.

Aku sadar, aku tak bisa selalu seperti ini ketika ada masalah. Semestinya, aku tak bersembunyi. Mestinya pula, kuhadapi wajah-wajah menuduh itu dengan banyak sanggahan yang memberi bukti bahwa aku tak seperti yang dipikirkan.

Ah, bagaimana? Kepalaku berisik sekali!

Tidak, Nila. Bangun, mandi, dan ambil seragam sekolahmu. Kau tak akan terlambat. Ayo, ayo lakukan segera! Jangan takut. Foto itu bukan apa-apa. Aku tidak bersalah atas apa pun. Mengapa harus bersembunyi? Apa aku sungguhan tidak ingin menatap mata-mata itu dengan berani? Apa aku tak mau mengubah diri dan pikiran sedikit saja?

Masalah tak akan selesai apabila aku hanya meringkuk di bawah selimut tanpa melakukan hal berarti lainnya. Jadi, ayo. Bangun dan singkirkan suara-suara buruk itu. Hapus bayangan yang belum terjadi dalam kepala.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang