Sore selepas jam pulang, hujan mendadak turun. Aku yang biasa keluar ketika kelas-kelas mulai kosong, harus rela menunggu waktu miliaran bulir itu mereda. Sempat kukirim pesan pada Rika bahwa tak usah menyisa makanan di meja. Aku akan membeli dengan sisa uang saku nanti di jalan.
Angin dingin berembus. Membawa air hujan untuk sedikit menerpa wajah. Dingin, sampai aku harus mengangkat tangan demi menutupi telinga, tetapi juga segar. Aku menunggu di undakan depan gedung. Hanya selangkah, maka halaman sekolah akan membawaku ke parkiran.
Kupikir, aku benar-benar sendiri. Mungkin? Sudah tak terdengar suara latihan anak-anak vokal, sorakan dari penonton yang menyaksikan latihan basket, atau teriakan kemenangan regu voli yang kedua jenis latihan olahraga itu diselesaikan hari ini.
Alasan pasti lain mengapa mereka berhenti sudah pasti karena guyur tak reda ini. Dua hari selanjutnya, pertandingan akan benar-benar diadakan.
Di sela-sela memikirkan tempuh mana yang akan kuambil untuk segera pulang, derap langkah yang pelan terdengar dari sisi kanan. Namun, aku tak menilik lebih jauh siapa di sana. Alih-alih, aku tertunduk. Memejam demi menyambut dingin dan aroma hujan yang melegakan dada. Tanganku turun sebab tak ingin dirasai aneh.
Setidaknya, gemuruh dan basah itu memberiku sedikit harapan untuk membayangkan langkah lebih jauh. Mengubah tangis Ibu menjadi secercah senyum bahagia. Aku bertekad untuk menumbuhkan senyum beliau yang telah lama mati.
Aku ... pasti bisa, bukan? Ibu memercayakan semuanya padaku. Tak mungkin kubuat sudut matanya meloloskan tangis. Bisa bisa bisa, Nila! Kamu pasti bisa!
Kemudian, entakan pelan langkah sebelumnya makin terdengar jelas. Ia mendekat, kemudian berhenti tepat di samping kanan. Belum berani untuk melihat siapa orang itu, tetapi kupastikan sepatu warna hitam yang jadi aturan wajib sekolah dan celana panjang abu-abu miliknya memberi aba bahwa kami berbeda jenis kelamin.
Meski ingin menggeser posisi saat itu juga, sayangnya aku tak mampu. Bergeming bersama gumulan suara dalam kepala yang memberi berbagai kemungkinan untuk menerka seseorang yang turut berdiri di sebelah.
Hingga selanjutnya terdengar napas mendesah dan tali tas selempang yang digenggamnya erat ketika aku sedikit melirik lebih tinggi, sosok itu sudah sempurna terbayang rupanya tanpa kuperiksa lagi raut wajahnya.
Detik-detik yang kulewati begitu hening andai suara rintik deras hujan tak berhambur jatuh menabrak halaman semen sekolah. Langit lebih kelabu, gelap pekat. Membawaku pada gagasan bahwa berhentinya akan membutuhkan banyak waktu.
Selama lima menit di antara riuh hujan yang tak kunjung mereda, suara gumam bernada rendah membuatku menoleh. Alunan, nada, dan bait-bait yang samar terdengar di sana sungguh memantik penasaranku untuk menimbulkan banyak tanya dan minat berarti yang harus dimuntahkan.
Aku sangat tahu dan mengenali bait puitis itu selalu bersanding dengan melodi tenang yang mampu mencipta renungan. Suara khas sosok lelaki luar biasa berkaca mata bersama gitar akustik yang sering kali dipangkunya.
Ciri khas lain yang melekat adalah jenis musik yang diusung beliau: pop, folk pop, country, dan soft rock yang dimuat dalam bentuk balada.
Ayah mengenalkanku pada sosok dan baitnya yang tak lekang dimakan waktu melalui kaset pita yang dulu sering beliau putar di radio tuanya. Selain cinta, syair-syair karya sosok ini lebih banyak sarat akan tema alam dan derita kelompok tersisih.
Gumam itu terus mengalun bersama nada-nada khas menyentuh yang berasal dari kotak abu-abu seukuran telapak tangan. Terlalu mencolok untuk aku tak mengenal siapa sosok di balik lirik puitis dan melodi menghanyutkan itu. Suaranya terlalu dalam menggali kenangan masa kecil yang kurindui.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Ficção Adolescente[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...