Aku yakin ketika menolak tawaran Wisnu untuk mengantar pulang. Mengatakan bahwa aku sudah baik-baik saja berkat rotinya.
Anak itu sempat membuatku jengkel dengan keterdiamannya saat kujelaskan kesungguhan ucapanku. Bahwa aku tidak berbohong, bahwa aku memang benar telah mereda. Perut tak begitu mual, kepala juga tak terlalu pening seperti sebelumnya.
Kukatakan juga, kalau pekerjaannya di toko lebih penting dari sekadar mengurusi nasib nahasku hari ini.
Wisnu akhirnya benar-benar pergi setelah aku mengucap terima kasih saat anak itu hampir berbelok di tikungan gerbang.
Sekolah benar-benar sudah sepi ketika kurasa mungkin salah mendengar suara tubrukan keras. Entah di mana, aku sempat ingin mengabaikan. Namun, sebelum kaki sungguhan melewati batas gerbang dan jalanan, suara itu muncul lagi. Kali ini, gedebuknya lebih keras, lalu muncullah sesuara rintihan.
Suara itu berasal dari sisi belakang samping. Di sekitaran pohon beringin sebelah tempat parkir.
Begitu menoleh, tidak. Tebakanku tak salah. Ada orang berkelahi di sana. Dua orang. Satu tinggi kurus, tetapi yang satu lagi jauh lebih jangkung dan besar.
Ah, ya, kuharap mataku sedang terganggu atau barangkali salah melihat. Bukan mereka. Bukan dua orang yang kukenal. Seperti itu rapalanku dalam hati sambil menahan-nahan tegang tubuh yang membuat membeku. Namun, bagaimana pun, itu tetap mereka seberapa keras aku menolak.
Dika dan Lana. Mereka saling adu hantam. Dika hampir membuat kepalan tangannya mengenai wajah Lana, sebelum akhirnya Si Kapten Basket berhasil menghindar. Kemudian, tak lama keadaan berbalik saat Lana membalas pukulan luput Dika sebelumnya dengan satu kepalan yang mendarat di perut.
Badanku terasa ngilu begitu menyaksikan hal itu. Apa yang terjadi menimbulkan nyeri di kepala. Aku mematung dengan kaki gemetar.
Dika tersungkur, tak lama Lana mendekat, menarik kerah kaus seragam Dika, lalu satu pukulan telak di rahang benar-benar tak bisa dilawannya.
Tidak ada siapa pun yang bisa kupintai tolong untuk melerai dua orang itu. Untuk kali ini, keadaan sekolah yang sepi merupakan sebuah kenahasan.
Aku tahu aku tak akan bisa melakukan hal untuk melerai mereka dan kalaupun itu bisa, hasilnya bisa jadi lebih buruk.
Terdengar Dika tertawa, tampak bodoh dan salah. Situasinya tak tepat sebab Si Maniak Komik itu tampak terengah di bawah tindihan Lana, yang hampir meloloskan pukulannya kembali di wajah Dika yang lebam dan kotor oleh debu.
Benad-benar nyaris tak percaya, saat hantaman hanya berjarak sejengkal dari wajah, suaraku memecah. Lana benar-benar berhenti, menoleh. Sementara Dika sudah dalam keadaan tak berdaya di bawahnya.
Benarkah aku berteriak tadi? Namun, meski benar begitu, usahaku tetap saja sia-sia. Lana hanya menoleh sebentar sebelum akhirnya meloloskan tinju anak itu yang tertahan sebab teriakan tadi. Dika benar-benar kalah telak. Dia terbaring di lantai parkiran dengan kondisi acak-acakan dan lebam.
Lana berdiri, menyugar rambut basahnya yang sekarang sedikit lebih memanjang, merapikan seragam, lalu melirik pada Dika yang telentang terbatuk di atas lantai.
Apa? Apa yang terjadi dengan kedua anak itu? Dan ... apa yang kulakukan tanpa membantu?
Lana berhenti untuk melangkah lebih jauh. Anak itu berpeluh.
"Kita impas! Berhenti ganggu Mama lagi!"
Dika tertawa kembali, tersendat sebab sulitnya anak itu bernapas.
Lana mengambil tas biru gelap yang tergeletak tak jauh dari posisinya berdiri, menyampirkan di bahu untuk kemudian sungguhan pergi.
Dalam jarak tak sampai empat meter dia melangkah, bisa kurasakan hawa panas yang sedang mengukung anak itu. Wajahnya memerah, dengan kedua alis tertekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...