33: Apa Kamu Sudah Yakin? Mengapa Tak Mengambil Jeda?

18 7 0
                                    

PERINGATAN! PARTNYA SEPANJANG KERETA!

•••

Wisnu menawariku satu mug kecil teh yang baru dibawanya dari belakang. Dapur kecil yang sebenarnya bukan dapur. Hanya ada dispenser dan tempat seduh minuman milik Paman di sana.

Anak itu mengatakan bahwa hujan akan membuat rasanya lebih enak dan aku setuju. Mengambil alih mug putih itu, meletakkannya sebentar di atas meja sementara tanganku memegang erat untuk mendapatkan hangat.

"Makasih banyak, Nu."

Anak itu tersenyum, mengatakan tak perlu sungkan.

Aku sempat menyesal karena tak bergegas lebih awal. Siapa sangka saat mendorong pintu toko, gelegar membelah langit bersamaan hujan deras yang menghantam aspal dan halaman toko Paman. Gerai-gerai di seberang jalan mau tak mau ditutup agar dagangan pedagang tak kebasahan.

Aku sudah menyiapkan diri saat mengetahui akan sedikit terjebak di sini. Bagaimana jawaban akan kukatakan di saat tak terduga Wisnu bertanya penasaran tentang apa yang kubicarakan dengan Bayu, atau bahkan Si Ketua Kelas Berkaca Mata itu akan mengulik-ngulik rencana pertemuan aneh hari ini.

Beruntung, Bayu pamit dua puluh menit yang lalu. Ia berkata akan kembali sebentar lagi. Namun, aku yakin itu tak akan terjadi sebab cuaca menghalangi niatnya. Itu bagus. Situasinya terlalu canggung apabila kami bertemu.

Ponselku berderit. Pesan dari Ibu. Kupikir awalnya akan berisi kalimat peringatan mengenai waktu yang kuhabiskan seharian ini. Sayangnya, dugaan itu meleset bersama dugaan-dugaan ganjilku pada sikap Ibu yang belakangan sangat berbeda.

Beliau tak lagi begitu memperingati soal pelajaran. Alih-alih, Ibu meminta agar aku dan Rika bisa menghabiskan waktu lebih banyak untuk istirahat.

[Ibu]
Nila mau makan apa malam ini? Kalau masih sibuk di toko buku, enggak usah buru-buru pulang. Lagian masih hujan. Enggak usah khawatirin rumah.
17:01

Kujawab kata-kata Ibu dengan kalimat sungkan. Bersama resah aneh dan kernyitan dahi.

Ibu enggak usah repot kalau capek. Nila bisa angetin sisa lauk sama nasinya nanti.
17:02

Aku masih tak bisa menerima perubahan Ibu begitu saja meski dalam hati terkadang memerintah agar aku bersyukur.

Mungkin, inilah waktunya. Mungkin, Ibu telah lepas dari obsesi dan kecewanya pada nilai-nilaiku yang makin memerosot.

Lalu, perasaan yang berseberangan terus berbisik dalam kepala, bahwa apa yang berubah dari Ibu bukanlah sesuatu yang lumrah. Bukan. Bisa saja ... bisa saja ada hal lain yang lebih aneh dan mengerikan daripada itu.

Berbeda ketika aku duduk mengobrol bersama Bayu, Wisnu tampak tak begitu peduli meski terkadang aku masih waswas akan diperhatikan.

Anak itu justru sibuk memandangi jendela basah yang terciprat hujan di sebelahnya. Sesekali bibir tipisnya bergerak, menggumamkan nada-nada lawas yang terdengar asing.

Melihat Wisnu, aku merasa menemukan sosok Ayah dalam versi yang jauh lebih segar dan belia.

Bedanya, Ayah suka bernyanyi keras-keras dengan banyak nada yang sering beliau pelesetkan dengan kalimatnya sendiri sampai pernah aku protes bahwa bukan begiru liriknya, sebelum Ayah menjelaskan kalau beliau memang sengaja membuatnya berbeda.

Sedang untuk Wisnu, dia melakukannya dengan benar, tetapi suara dalamnya yang halus hanya sesekali terdengar. Aku penasaran, ingin bertanya. Namun, urung segera. Takut akan membuka percakapan.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang