Kukatakan dalam hati, selama rapor masih belum dibuka oleh Ibu hingga mencapai rumah, aku cukup yakin untuk tak khawatir berlebih. Aku sudah belajar sebisaku untuk semester ini. Meski mulanya berjalan buruk sebab keadaanku yang labil. Menghabiskan banyak jam dalam semalam hingga nyaris selalu terjaga.
Sejak pulang dari sekolah, Ibu sama sekali tak berbicara. Bahkan ketika kami memutuskan untuk menaiki angkot, yang kebetulan juga membuat napasku lega karena tak banyak yang menumpang, dan semuanya perempuan bersama anak-anak mereka.
Raut wajah Ibu juga tak bisa kuteliti maksudnya. Selama beliau diam, tak sekali pun ada niatannya untuk menoleh.
Menebak-nebak kemungkinan apa yang Ibu pikirkan sekarang, aku yakin suasana hatinya tak bisa dikatakan baik.
Hasil rapor itu, apakah akan sama buruk dengan semester akhir kelas sepuluh lalu? Lebih baik? Atau malah lebih buruk, nilai-nilai yang muncul adalah nilai yang tak pernah Ibu dan aku harapkan untuk tertera di dalamnya.
Gelenyar aneh itu datang lagi. Perutku mual, dengan kepala yang tak berhenti dikuasai suara denging. Mengubah angkot yang semula tampak lega kini menjadi sangat pengap. Padahal, ibu-ibu muda yang kusebut sebelumnya telah turun lebih dulu di tikungan gang samping jalan raya.
Tanganku tak berhenti bergetar, mengeluarkan keringat sampai beberapa kali aku mengusapnya pada rok seragam.
Demi menepis semua gejolak memuakkan itu, kualihkan pandangan pada pemandangan di jalanan. Namun, keadaan tak lantas membaik ketika melihat anak-anak berseragam berjalan kaki di sisi jalan, tampak tertawa bersama teman-teman di sebelahnya.
Hal yang tak begitu kusadari, adalah waktu pemberhentian kami yang terasa sangat cepat, atau aku hanya berpikir begitu sebab tak bisa menghentikan cemas. Ketika kaki mulai melangkah keluar dari angkot dan Ibu membayar ongkos, aku tahu waktunya telah tiba.
Waktu untuk melihat hasil jerih payahku yang masih tak terlalu bagus untuk setengah tahun ini, waktu untuk menghadapi kenyataan bahwa nilai-nilai itu bisa sama buruknya dengan semester lalu, waktu untuk menerima dan menghadapi kembali kekecewaan Ibu yang mendalam, juga waktu di mana mungkin beliau akan kembali bersedih sebab aku tak mampu menyesuaikan apa yang beliau harap-harap selama ini.
Kegagalan. Mutlak. Aku yang tak mampu. Aku yang ceroboh. Aku yang tak bisa diandalkan.
Kucoba mengingat kembali kata-kata Wisnu waktu itu, bahwa kegagalan itu wajar dan tak apa-apa menjadi gagal selama belum menyerah. Benar. Harusnya begitu. Tak perlu memusingkan apa pun.
Langkah kami makin dekat menuju rumah. Aku ingin sekali melambat, bahkan berhenti andai saja Ibu tak terus menengokku di belakang langkah beliau.
Aku berharap untuk berlari dari situasi ini. Bayanganku terlalu buruk untuk menghadapi bagaimana raut wajah Ibu nantinya akan berubah bengis.
Beliau yang akan marah, menumpahkan banyak-banyak kata kecewa. Menyebut kerja keras yang dilakukannya selama ini sungguh sia-sia sebab aku tak bisa mengembalikan masa gemilang SMP dulu. Di mana Ibu selalu semringah dan puas dengan hasil raporku.
Aku sungguh tak tahan apabila Ibu nanti akan kembali menyebut keluarga Ayah dan segala kehidupan barunya yang lebih baik dan makmur dari kondisi kami di sini, juga bagaimana ketika Ibu mulai membandingkan kondisi ini dengan temannya dan tetangga. Mengenai betapa beliau harus menanggung malu untuk ke sekian kali.
Tidak tidak tidak! Ini belum terjadi. Itu hanya bayangan. Nila, berpikir saja mungkin ibumu akan tak acuh saat dia mendapati nilai burukmu lagi. Berpikirlah karena ibumu yang sangat kecewa dan jenuh dengan putrinya, dirimu sendiri, dia akan abai. Dia akan diam meski hatinya berteriak marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Подростковая литература[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...