Tiga tumpuk buku dengan tebal masing-masing dua senti, dijejer rapi di atas meja oleh Wisnu. Dengan judul berbeda, tetapi masing-masing judul menegaskan isi dan pembahasan yang mengarah ke satu tema.
"Buku-buku ini punya referensi terpercaya. Dan, yang pasti, si penulis juga enggak kalah tenar di pencarian internet."
Wisnu membetuli kaca mata. Menggeser kursinya sedikit maju hingga kudengar antukan lutut anak itu pada kaki meja. Namun, tidak ada aduhan dari Si Berkaca Mata atau reaksi apa pun seolah memang tak masalah, juga aku tak terlalu memedulikan.
Setelah semalaman berpikir tentang minat topik yang mungkin bisa kuusulkan, aku sudah memutuskan satu pembahasan, yang, sebenarnya aku ingin Wisnu juga menyetujui gagasan itu. Meskipun ragu apakah bisa mengutarakannya atau tidak andai diskusi kami menemui jalan buntu.
Wisnu menjelaskan beberapa saran materi yang kebanyakan bersumber dari sejarah dalam negeri yang telah umum menjadi materi pengulangan di Sekolah Dasar hingga Menengah Atas. Beberapa rujukan materi yang diajukan Si Anak Berkaca Mata itu juga adalah sejarah-sejarah yang diakari oleh penguasaan penjajah terhadap negeri-negeri timur.
Perebutan daerah kekuasaan zaman Belanda, kongsi dagang yang akhirnya bertumpul pada monopoli, hingga kekejaman rasisme di dalam dan luar negeri yang berimbas pada pembasmian kaum tertentu. Sejarah panjang yang telah mencetak tinta kelam pada masing-masing benak orang-orang yang melewati masa-masa itu dengan mengerikan.
Aku jelas diam. Mendengarkan. Namun, tak satupun saran dari Wisnu kuindahkan begitu saja. Meski tak mengangkat suara sejauh ini, aku sedikitnya berusaha untuk menepis suasana ganjil dan perasaan aneh yang terus memintaku untuk menolak semua gagasan Wisnu.
Alih-alih, sebagai ganti, aku ingin menyarankan topik yang bukan bertema kekerasan akibat perang yang berakar dari penguasaan seperti yang Si Ketua Kelas itu canangkan sebelumnya.
"Serius, enggak ada satu pun yang mau kamu tanggapi? Apa topiknya terlalu klise?"
Anak itu hampir benar. Namun, jelas bukan begitu yang kumaksud.
Aku menggeleng cepat. Takut jika mungkin Wisnu akan salah paham dengan gestur dan tanggapanku.
"Kalau kamu punya saran lain, bilang aja, Nila. Jangan ditahan."
Wisnu mengendurkan ketegangan bahunya. Anak itu selanjutnya secara perlahan merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku tak sengaja memperhatikan matanya mengerjap dua kali.
"Gimana kalau Black Death?"
Di bawah meja, kuremat jemari segera. Mendadak cemas dengan usulan sendiri.
Tebersit penyesalan dengan kata-kata yang kukeluarkan begitu Wisnu kembali menegakkan punggung. Mengerut kening beberapa saat hingga memberiku asumsi bahwa anak itu mungkin merasa tersinggung dan marah karena ide-idenya sama sekali tak menarik minatku.
Dari topik yang ia bahas sebelumnya, jelas saranku merupakan penolakan halus karena sama sekali berbeda jauh dengan saran Si Berkaca Mata. Dia mungkin sungguhan sebal kendati wajah anak itu tak mengubah ekspresi tenangnya.
Aku membayangkan dalam skenario buram yang kubentuk sendiri. Mengenai usaha Wisnu mati-matian mencari materi untuk tugas hingga semalam suntuk, selain tugas lainnya yang tak kalah mendesak. Lalu, tanpa tahu diri aku menolaknya begitu saja.
Jika aku yang berada dalam posisi seperti itu, akan seberapa menjengkelkan? Namun, ketika berpikir kembali, jelas ini bukan kesalahanku karena bagaimana pun, belum ada pembahasan lebih dan ini adalah hari pertama diskusi kami.
Hanya, tak berselang lama aku jadi berpikir, mungkinkah yang tadi keterlaluan? Apa lebih baik memang diam saja? Sayangnya, ada satu sisi yang menolak gagasan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...