06: Tas Biru dan Rantai Sepeda

60 11 14
                                    

Sesuai dugaan, setibanya di kelas, pelajaran tengah berlangsung dan tanpa basa-basi berarti Pak Hanif menghukumku berdiri di luar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesuai dugaan, setibanya di kelas, pelajaran tengah berlangsung dan tanpa basa-basi berarti Pak Hanif menghukumku berdiri di luar. Beliau bahkan sama sekali tak memberiku kesempatan menjelaskan sebab amarahnya yang memuncak ketika aku datang dengan keadaan nyaris basah dan berbau muntahan.

Kuperhatikan Ari yang tengah menatap iba ketika dengan lantang Pak Hanif mempersilakanku untuk tak mengikuti pelajaran. Sebagai gantinya, aku harus terus berada di luar hingga jam mengajar beliau selesai. Waktu hukumanku tepat berada di jam-jam terakhir kelas.

Sebelum benar-benar keluar, kulewati beberapa deret meja teman-teman dengan gejolak mual yang membelit demi mencapai tempat di mana tasku berada. Secara serempak, anak-anak tampak menyeramkan ketika pandangan mereka tak lepas dari tindakanku. Mereka seakan mengawasi apa-apa yang kuperbuat. Sorot itu ... tidak, Nila! Kendalikan dirimu!

Sayangnya, ketika menilik kolong meja, ransel biru muda itu raib. Di sana hanya terisi oleh tumpukan remasan dan gulungan kertas yang entah siapa menaruh.

"Ada apa, Nila?"

Pak Hanif nyaris menghampir sebelum akhirnya aku bersegera berbalik dan mendapati raut wajah tak ramah beliau sedang berusaha menyelidiki apa yang tengah kulakukan.

"Tidak ada, Pak. Saya akan segera keluar."

Dalam keadaan menunduk, langkah berat kuayunkan secepat mungkin. Berdiri agak menjauh di depan kelas seorang diri.

Aku ... melanggar aturan lagi. Bukankah seperti ini bisa disebut anak nakal? Kupikirkan segala bayangan konsekuensi yang akan menyambut. Dugaan buruk apabila Ibu mengetahui semua ini. Mengetahui putri yang dibanggakannya membolos dan dihukum.

Pikiran itu sanggup membuat tak sadar apa pun. Bahkan Ari, aku tak tahu apakah tadi gadis itu benar-benar kemari saat bel pulang berbunyi. Sama sekali tak mengingat sebab melamun. Kutahu hanya banyak anak yang keluar dari kelas. Itu saja, lalu berikutnya melamun lagi demi menunggu kelas lain ikut kosong.

Sekolah telah sepi lebih dari setengah jam yang lalu saat aku sadar hukuman telah habis. Meski waktu pulang tiba, Pak Hanif yang baru keluar kelas tak mengizinkanku untuk itu. Beliau memanggil, meminta menyusun kembali beberapa tumpuk buku paket agar dibawa ke ruang guru.

Di waktu merapikan buku-buku itulah, Pak Hanif memberikan waktu untuk menjelaskan perihal apa yang membuatku sampai terlambat mengikuti pelajaran.

Tak langsung kujawab pertanyaan beliau sebab perlu waktu untuk berpikir banyak. Tak mau mencari masalah dengan gadis-gadis obsesif itu, kukatakan saja bahwa aku mengalami insiden terjatuh karena pusing tak tertahan.

"Karena itu saya sedikit terlambat. Saya harus membersihkan seragam lebih dulu. Maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulangi."

Kutundukkan wajah dalam. Demi menghindari tatapan Pak Hanif, secara acak kubaca judul yang tertera di sampul buku paket sebelum menatanya menjadi tumpukan rapi di atas meja.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang