23: Mengapa?

16 6 0
                                    

Alunan nada musik lawas mengalun sejak dua jam yang lalu. Ketika kuingat sudah berapa lama radio tua Ayah di meja belajar tak kuputar, hari ini, di dalam kamar, sedikit inisiatif kumasukkan kaset demi memeriksa apakah benda itu masih berfungsi baik atau tidak.

Selain mengobati kerinduan akan kenangan bersama Ayah dulu, suara nyanyian lembut dari koleksi kaset pita yang ditinggal beliau kugunakan sebagai pengalih perhatian rasa gundah. Ibu belum pulang. Mungkin akan kembali ke rumah di jam-jam seharusnya orang-orang sudah terlelap di bawah selimut mereka. Lagi.

Padahal seharusnya, aku senang dengan jadwal Ibu yang akhir-akhir ini suka pulang lebih larut. Senang bahwa beliau memiliki waktu kerja yang lebih panjang dari hari biasa.

Meski terdengar kurang ajar, tetapi sedikit suara dari kepala juga mengatakan bahwa kepulangan Ibu yang larut adalah sebuah ketenangan. Sebuah kebebasan di mana aku dapat setidaknya memberi jeda dari bergumul dengan buku-buku tebal keilmuan menjemukan yang membuat mual di atas meja.

Selama bayangan kegagalan dalam lomba terus berputar dan memberi ingatan mengenai kepayahanku, mungkin aku juga akan terus mengusik Rika dengan suara lagu-lagu lawas yang sengaja kunaikkan perlahan volumenya. Biarlah anak itu protes dan berkali-kali mengetuk pintu. Aku tahu bahwa gadis itu tak akan berani masuk kecuali mendapat izin.

Bertumpuk buku catatan di sudut meja kugeser ke tengah. Catatan lama berisi kumpulan cerita-cerita pendek juga cerita bersambung yang dulu selesai kutulis, kurencanakan untuk membakarnya malam ini setelah mengumpulkan dan mengikatnya dalam satu tumpuk setinggi dua puluh senti.

Meski sebenarnya ada rasa ragu dan bayangan sesal yang akan kuperoleh nantinya, tetapi kecewa sudah kepalang membumbung dalam pikiran. Tidak ada pilihan lain.

Buku-buku ini sama sekali tak berguna. Mereka hanya membuat meja belajarku sesak dan biaya yang habis dalam membeli alat tulis untuk cerita-cerita itu juga tidak sedikit.

Panggilan telepon berulang dari Dika kuabaikan. Jika aku tak salah, hampir lima kali ponsel telah bergetar, nyaris satu menit, lalu mati dan bergetar kembali.

Selang beberapa lama tak mendapat jawaban, anak itu mengirimiku satu pesan yang sama sekali enggan untuk kubaca.

Aku berpikir kembali apakah reaksiku ini berlebihan atau tidak. Atau malah memang wajar bersikap semenjengkelkan dan sedrama ini.

Tidak ada sesuatu yang mampu mendorongku lebih jauh untuk mengangkat dan mengatakan bahwa Dika tak perlu sesering itu menghubungi andai dia khawatir dengan reaksiku atas kejadian tadi siang.

Hampir lima menit, telingaku tak tersentak lagi oleh getaran panggilan. Namun, keadaan itu tertepis begitu ponsel di atas meja lagi-lagi bergetar. Menyerah, lantas kuraih benda yang berada di sudut meja itu dengan kasar. Mengusap ikon telepon hijau untuk setelahnya menempelkan di telinga. Menarik napas sambil mengukir senyum agar tak kelepasan kata-kata sebab marah.

"Maaf aku lama ngangkatnya, Dik. Lagi belajar soalnya. Kamu mau bicara apa?"

Tidak ada balasan setelah itu. Biasanya, Dika akan berbicara lebih dulu dengan lengking suaranya yang khawatir saat aku berada dalam situasi pundung. Namun, aku memulai kalimat duluan, tak lebih karena di seberang telepon hanya terdengar suara desah napas yang panjang.

Ada yang aneh.

Setelah mengecilkan volume radio, kujauhkan ponsel, sekadar melirik layar untuk memastikan bahwa itu memang Dika dan dia hanya bertingkah aneh. Sayangnya, justru nomor tanpa namalah yang tertera di sana.

Aku lupa seberapa lama orang asing pernah menyasar panggilan, tetapi sepertinya yang satu ini bisa kukenali susunannya karena sudah beberapa kali menelepon.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang