Aku mengerti. Ada yang berubah pada raut wajah Wisnu selepas menyalami Bibi Santi—wanita yang mengaku merawat Wisnu dan Kak Nia sejak kecil seperginya Bibi Wina—dan kami keluar. Sesuatu mengenai seseorang yang ia sebut Bapak itu sudah pasti kurang baik dan membuat perasaannya muram.
Aku tidak ingin mengungkit apa pun, apalagi sampai ingin tahu yang sebenarnya. Biarlah itu menjadi bagian Wisnu yang disimpannya sendiri.
Selama perjalanan menuju toko es krim sebagai pemberhentian terakhir kami sebelum pulang, aku ingin menghentikan langkah Wisnu yang menuntun sepeda di depan. Berkata agar janjinya lebih baik dibatalkan sebab aku juga tak ingin menuntut apa-apa tentang perayaan yang Si Berkaca Mata itu katakan.
Jarak warung makan dan toko es krim tak seberapa jauh. Itu karenanya, kami memilih menuntun sepeda karena bagian lahan sepetak depan toko-toko di sisi aspal ada beberapa orang melintas. Pula padatnya kendaraan dan suasana hati Si Anak Berkaca Mata yang sepertinya memang mendung, sangat tak memungkinkan untuk menaiki sepeda dengan aman.
Juga perasaanku sendiri yang tak enak soal kejadian beberapa saat lalu tentu hanya akan membuat tak nyaman dan kacau apabila dipaksa.
Anak itu bahkan mungkin melamun sebab beberapa kali dengan ragu-ragu, aku memperingati tuntunan sepedanya yang nyaris memasuki jalan aspal yang padat oleh kendaraan berlalu lalang.
Tiga kali dia tak mendengar suaraku, tiga kali pula klakson dari kendaraan berbeda menyetop laju Wisnu untuk tak membuat tubuhnya terhempas kendaraan dengan kemarahan si pengendara. Aku menanyakan apakah anak itu baik-baik saja, dan dia mengangguk sambil tersenyum tipis setelah mengucapkan tak apa.
Wisnu yang terkejut meminta maaf kepada dua paman dan satu lainnya seorang wanita yang membonceng anak perempuan kecil.
Sebab kejadian serupa terulang lagi untuk keempat kali, mau tak mau kupercepat tuntunan sepeda walau jarak dengan toko es krim tak sampai sepuluh meter lagi.
Benar saja, ketika kuperhatikan dari samping, Wisnu diam menatap lurus jalan di depan. Mata di balik kaca berbingkai itu tak bergerak. Sama sekali tak menyadariku yang berdiri di sisi kanan. Sebab itulah, kuhentikan ia dengan menahan setir sepedanya. Nyaris betis Si Berkaca Mata terantuk pedal andai anak itu tak berhenti segera.
Beberapa detik, semua kata-kata yang sudah kususun dalam kepala hilang begitu saja ketika Wisnu berhenti dengan terkejut, menatapku dengan alisnya yang bergerak samar.
Semoga dia tak marah telah kubuat hampir terantuk sepeda.
"M–maaf ..., Nu."
"Kenapa, Nila?"
Segera aku tertunduk demi menghindari mata itu. Gejolak aneh kembali menggerayangiku.
Tidak tidak tidak! Ini salah! Tolong berpikir dengan benar, Nila! Abaikan perasaan anehmu!
"Wisnu ... kalau kamu lagi ngerasa enggak nyaman, beli es krimnya batalin aja. Kamu pulang. Aku juga harus cepet sebelum siang keburu habis."
Jam setengah dua dan aku tak mau meninggalkan kewajiban lebih lama lagi. Di sini bukan sekolah di mana aku bisa menunaikan kewajiban tanpa harus berjalan jauh demi menemukan tempat ibadah.
Lagi-lagi dia diam. Suasana canggung itu akan membuatku tercekik andai saja suara knalpot dan lalu lalang kendaraan di jalan di belakang bahu Wisnu tak berisik mengetuk-ngetuk telinga. Langit juga muram. Pasti beberapa waktu ke depan akan turun hujan. Akhir November yang selalu basah dan dingin.
"Tokonya udah di depan, Nila. Enggak boleh batal. Aku baik-baik, kok. Ayo—"
"Wisnu."
Kutahan lebih erat setir sepeda Wisnu agar anak itu tak beranjak ke mana pun. Bisa kurasakan kegugupan yang kemudian menjalar menjadi gemetar pada tangan. Telapak tanganku basah oleh keringat dengan ujung jemari yang dingin.
![](https://img.wattpad.com/cover/311033797-288-k960414.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...