Sesuai janji kemarin, aku mengikuti kunjungan Dika ke toko koran bekas langganan kami. Toko yang terletak di sisi kanan jalan besar itu adalah milik seorang paruh baya yang selama ini kukenal baik. Paman Harun namanya.
Seringnya, aku berkunjung dan membeli beberapa buku, beliau selalu memberi satu buku lain sebagai tambahan. Secara percuma. Namun, akhir-akhir ini aku terlalu jarang berkunjung lantaran keengganan dan perasaan buruk yang sering makin tak terkendali.
Jadi, begitu aku dan Dika membuka pintu kaca bening besar berbingkai kayu itu, Paman yang disibukkan menata buku dan beberapa koran dalam kotak akhirnya berhenti. Sebuah tawa renta yang kalem menyambut kami, bersamaan raut lembut yang menampilkan kerut.
"Wah, Nila? Beneran Nila sama Dika, 'kan? Maaf. Mata Paman sering bermasalah akhir-akhir ini."
Kubalas canggung sapaan Paman. Sementara Dika langsung mengambil alih kegiatan beliau dengan duduk bersimpuh merapikan beberapa tumpuk buku bekas.
"Kalian mau cari buku?"
Aku menggeleng. Alih-alih menjawab, kulirik Dika yang masih sibuk. Paman yang cukup mengerti, akhirnya tertawa kembali.
"Bukan, Om." Dika berhenti, melirik Paman sekilas sebelum kembali mengambil beberapa tumpukan.
"Koran. Buat tugas kliping." Anak itu nyengir hingga matanya nyaris tenggelam.
Setelah Paman menyuruh Dika untuk meninggalkan tumpukan buku yang belum dibereskan, anak itu segera bangkit demi mengikuti jejak Paman yang berjalan menuju jejeran koran di yang diletakkan di sebuah rak teebuka di depan toko.
Toko Paman terbilang sederhana. Toko yang nyaris semua interiornya berbingkai kayu ini memiliki lampu-lampu kecil kekuningan sebagai penerang di langit-langit, juga beberapa lainnya tertempel rapi di dinding batu bata tanpa kulit semen atau pun keramik. Lebih masuk lagi, warna cokelat kayu begitu mendominasi tiap sudut. Terasa hangat dan teduh secara bersamaan.
Nuansa yang diusung cukuplah memanjakan mata dengan membawa kembali pada era-era 90-an yang sejatinya telah berlalu berpuluh tahun silam.
Melalui interior sederhana yang digunakan seperti: radio lama berwarna hitam di atas meja kasir, sekotak kaset pita yang berada di etalase tempat biasa Paman menyimpan barang-barang antiknya, juga beberapa pajangan dan lukisan yang semestinya cukup langka untuk didapatkan di era sekarang.
Hal lain yang paling kusuka dari tempat ini adalah, meski kecil dan nampak ringkih dari luar bangunan, tetapi keadaannya akan sangat berbeda kedap suara dan meneduhkan dibanding bising jalanan berdebu yang mengapit di luar. Benar-benar seperti tempat ajaib.
Demi mengusir jenuh menunggu Dika mendapatkan sesuatu yang ia cari, kusibukkan diri dengan menelusuri rak-rak buku. Meski mereka bekas, tetapi kondisinya begitu baik. Kalau beruntung, aku bahkan bisa menemukan buku bagus dan langka dengan harga yang sangat banting.
Aku sempat berpikir, buku-buku yang cukup langka ini akan sangat meroket jika berada di tangan orang yang paham. Mendapatinya berada di sini, sedikitnya membuatku merasa sayang sekali. Akan tetapi, hal itu juga tak kalah memberiku keuntungan dengan bisa membeli buku bagus dalam harga murah.
Lagi-lagi, dua situasi yang menguntungkan dan merugikan. Selalu seperti itu, bukan?
Selain buku terkait pelajaran yang kuincar, beberapa sasaranku adalah novel, kumpulan cerpen bahkan puisi, atau buku sastra.
Untuk ketiga jenis yang disebut di awal, biasanya aku mendapatkan mereka secara sukarela dengan perjanjian yang kubuat dengan Paman bahwa aku akan sering berkunjung ke toko untuk mencari bahan bacaan. Kesepakatan berbeda selain dengan adanya aku di sini, Paman tak begitu kesepian. Tampaknya begitu, tetapi aku kurang yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...