Semasa ingatan dulu aku memiliki keluarga utuh, Ibu memang mendidikku dan Rika dengan perangainya yang tegas dan awas. Sama sekali bertolak belakang dengan Ayah yang lembut dan pengertian.
Kupikir, sikap itu memang semestinya diterapkan demi mendisiplinkan dan membentuk kami menjadi anak yang tak bisa bermain-main dengan waktu yang ada. Tak boleh bersantai bahkan jika lelah. Ibu bilang, waktu lebih berharga dari apa pun di dunia. Tak akan ada kesempatan lain yang datang apabila aku mengambil jeda untuk bernapas.
Mungkin, karena sifat Ibu yang itu, Ayah memutuskan untuk mencari tambatan hati lain yang sepaham dan mau mendengar beliau selayaknya seorang pria. Begitu, terakhir kali aku mendengar adu argumen kedua orang tuaku di kamar mereka di waktu belajar yang nyaris menembus jam dua belas malam.
Di ruang tamu yang hanya disorot lampu duduk kuning di atas meja kecil sebelah televisi, aku melihat Ayah melalui celah kecil pintu kamar dengan perasaan berdebar. Menebak-nebak apa yang akan dilakukannya setelah menyambar kunci motor yang digantung di sebelah pintu.
Beliau menarik jaket cokelat kesayangannya dari gantungan paku tepat di sisi luar pintu kamar Ayah dan Ibu, untuk selanjutnya ia kenakan dengan terburu.
Tidak ada yang mencegah adegan di mana Ayah mulai melangkah cepat ke pintu, membantingnya hingga terjeblak, lalu beradu dengan dinding tepat di belakangnya hingga menimbulkan gema yang memenuhi ruang.
Jelas aku tersentak, bergerak tergesa demi menengok Ayah yang menyalakan sepeda motor untuk menjauhi halaman rumah.
Dari ambang pintu, kulihat sorot lampu depan motornya menerangi rumput-rumput halaman rumah kami, sebelum akhirnya lenyap begitu Ayah menjalankan kendaraan beliau dan menghilang di balik tikungan.
Kembali rumah sunyi. Sementara aku mematung dengan pikiran yang menerka hal buruk. Berdiri gamang di ambang pintu dengan dada berdebar hebat. Bahkan suara detaknya bisa kudengar jelas. Tidak tidak tidak! Itu bukan hanya pertanda buruk, tetapi sangat buruk. Mungkin hancur, atau mungkin juga sudah hilang.
Langkah lesu Ibu menyusulku dari belakang. Ia menutup kembali pintu secara kasar. Sebelum pergi, beliau berpesan agar aku tak terlalu memikirkan apa yang terjadi malam itu.
Ibu juga mengingatkan agar aku segera mengusaikan belajar dan pergi tidur agar tidak terlambat sekolah. Hanya, kontras dengan nada tegarnya, mata sembab Ibu memberikanku kesaksian lain mengenai apa yang telah terjadi.
Beberapa waktu kepergian Ayah, aku tahu bahwa ia tak akan pernah kembali ke rumah. Tak akan pernah lagi menyeruput kopi di senja dengan aku di seberangnya memeluk boneka.
Tidak akan pernah lagi kudengar lantunan lagu-lagu Ebiet yang terputar dari radio tuanya di pagi hari, atau justru suara kerasak ketika radio itu mulai tak berfungsi semestinya. Tak ada semangat dukungan untuk tulisan-tulisanku, bahkan tak akan pernah ada lagi yang akan dengan sudi mendengar ceritaku yang melampaui imajinasi sebaik Ayah melakukannya.
Cepatnya waktu berlalu, jadwal Ayah menemuiku dan Rika tiap minggunya makin berkurang. Dari awalnya tiga kali, menjadi dua, lalu satu, sampai tidak sama sekali.
Dari penuturan beliau sendiri, ia mungkin akan memiliki banyak waktu sulit dengan pekerjaannya jika harus mengatur waktu temu untuk kami.
Pada akhirnya, aku yang sempat tak mengerti di awal, paham bahwa waktu sulit yang beliau sebut adalah, Ayah telah memiliki kesibukan dan kebahagiaan lain yang bisa mengubah wajah kusutnya menjadi lebih berbinar dibanding selama pernikahannya dengan Ibu.
Semula, aku enggan untuk mendengar alasan apa pun atas perpisahan mereka berdua. Diam-diam, aku menyalahkan kekeraskepalaan Ibu dalam mendidik dan mengatur jalannya keluarga kami, juga bagaimana ia jarang sekali mengalah dalam perdebatan sepele yang sering diperbesar. Menurutku selalu begitu, dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Fiksi Remaja[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...