44: Harus Kembali

12 7 0
                                    

Seminggu telah berlalu sejak kunjungan mendadak Ayah. Meski rinduku masih meletup-letup seperti kembang api di dalam dada, yang mampu menumbuhkan keinginan besar untuk memeluk beliau lebih erat sampai tak ingin pernah melepaskannya, aku tak akan berharap lagi bahwa Ayah akan kembali ke rumah.

Apalagi jika beliau tetap kukuh dengan penawaran untuk menjemput. Untuk membawaku pergi jauh dari Ibu.

Aku akan menghentikan doaku selama ini yang meminta agar Tuhan mempertemukanku kembali dengan sosok yang telah hilang bertahun-tahun dari kehidupan kami di sini.

Tidak akan. Sampai kapan pun. Aku tidak mau berada dalam rumah tangga baru Ayah, tinggal bersama Kakek, Nenek, dan Bibi Ani yang mulutnya sepedas cabai. Tidak. Aku tidak mungkin sanggup berada di sana. Diimpit keluarga baru Ayah dan anak-anaknya selain diriku dan Rika.

Terlalu menyakitkan. Mengingat kunjungan beliau saat bersama Si Gadis Kecil. Anak itu tak lepas memegang erat Ayah. Matanya tak berhenti memicing saat menatapku.

Beliau berada di depanku, hanya terhalang oleh meja kayu panjang bertaplak putih bunga. Namun, jarak di antara kami terasa seperti ribuan kilometer jauh. Seperti bertemu orang asing dengan suasana canggung.

Seminggu pula, aku masih betah untuk tak keluar rumah. Ibu izin cuti dari toko, yang beruntungnya disetujui tanpa nada curiga oleh bosnya saat menelepon. Rika masih sekolah, tentu saja. Dengan Ibu yang mengantar-jemput gadis itu setiap hari.

Kondisiku sudah cukup membaik. Kendati begitu, bayangan untuk kembali bersekolah masih mampu mengembalikan panik. Aku tidak ingin, tetapi harus. Pelajaran yang tertinggal sudah menumpuk banyak. Sebatas membaca dan mencatat tak akan membantu sebanyak penjelasan langsung di kelas.

Ari sempat mengirimi catatan yang difoto melalui pesan. Aku tertawa, merasa aneh saat gadis itu berubah begitu rajin menulis sejak seminggu ini.

Padahal, jika diingat kebiasaan absen di saat-saat tak mengenakkan seperti sekarang, dia hanya menanyai kondisiku, mengatakan akan menjenguk, tetapi berakhir tak jadi sebab ia takut dengan Ibu. Ari mengatakan alasannya rajin begitu karena gadis itu tak mau aku keteteran pelajaran terlalu jauh.

Anak itu juga mengabari bahwa ia telah mendengar penjelasan Dika secara langsung mengenai apa yang terjadi seminggu sebelumnya. Ari mengungkapkan amarah, tentu saja. Persis saat menelepon.

Untuk satu itu, aku mengabaikan untuk menyimak. Lebih memilih topik lain yang perlu dibahas, atau justru tak berbalas pesan lagi dan mematikan ponsel.

Besok. Aku akan kembali. Aku tidak bisa menghindar dan bersembunyi lebih jauh lagi. Semester hampir tiba. Hanya terhitung seminggu sebelum pelaksanaan. Aku yakin bisa mengejar ketertinggalan selama waktu meliburkan diri meski nantinya akan berakhir cemas dan pening yang sama.

Sebenarnya, di masa-masa meliburkan diri ini, aku jadi lebih sering berbalas pesan setelah jam belajar yang dibatasi dua jam saat malam. Bukan dibatasi selamanya, aku tahu itu. Batasan itu hanya demi meringankanku dalam masa pemulihan sebelum kembali siap bersekolah.

Bukan dari Dika yang semenjak kejadian itu kuabaikan. Ada banyak, bahkan ratusan milik anak itu yang sama sekali tak ingin kusentuh. Aku berpikir apakah itu keterlaluan dan sempat beberapa kali merasa tak enak, tetapi selalu berakhir denganku yang tak ingin memedulikannya lagi. Entah sampai batas waktu mana.

Bukan juga dari Ari yang rata-rata isinya stiker kucing menangis dan permohonan agar aku cepat sembuh.

Bukan dari mereka berdua. Itu Wisnu, yang memberi tahu hasil tugas kami yang mendapat nilai tertinggi. Aku meminta maaf pada Si Berkaca Mata, karena seperti dugaan, ada presentasi untuk tugas yang dikumpulkan dan menyayangkan sekali aku tak bisa hadir meski ada sebuah kelegaan kecil karenanya. Bukan asal, aku sungguh enggan membayangkan situasi yang akan terjadi.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang