48: Aku Benci Bersekolah!

16 5 0
                                    

Aku mungkin harus minta maaf pada Lana, atau tidak. Ini salahku, atau justru tidak. Aku yang keterlaluan, atau justru hanya waktu mengatakannya saja yang tak tepat, atau bahkan Lana saja yang sedikit emosional waktu itu. Aku mengerti, tak bisa begitu saja menyalahkannya dalam situasi sulit tersebut.

Akulah yang melewati batas pribadinya. Seharusnya, kupatuhi aturan Ibu. Bukan malah tinggal di rumah Paman setengah jam lagi hanya demi Lana tak melakukan hal berbahaya. Seharusnya, aku membangunkan Paman. Tak apa meninggalkan Lana. Tak apa untuk tak mendengar ceritanya jika anak itu akan marah pada akhirnya.

Kupikir, saran itu yang kuajukan berguna sebab selain Lana yang bisa menghentikan niat Om Wilana, Bibi Rani tentu akan lebih bahagia jika tak jadi menikah dengan pria itu. Dika dan Lana tak akan berseteru sepanjang dan sekeruh ini. Apakah terlalu egois dan memaksa, aku masih tak mengerti. Mungkin saja seperti itu.

Sebuah simpati memang terkadang mengesalkan ketika datang di waktu tak tepat. Aku sadar, begitu Lana menceritakan bagaimana Bibi Intan selama ini, aku cukup tak terima dengan perlakuan suaminya.

Ada sebuah bisikan kecil dalam kepala, bahwa pria yang Lana tak mau akui sebagai ayahnya, harus mendapat ganjaran dan balasan.

Satu-satunya cara untuk saat ini adalah menggagalkan segala rencana yang Om Wilana mau.

Sayangnya, reaksi Lana jauh dari yang kuharapkan. Keterlaluan! Seharusnya, aku hanya diam dan tak ikut campur. Memangnya, siapa aku?

Kepala terasa pening, lalu terdengar suara gedebuk begitu lenganku tak sengaja bergeser di atas meja. Buku paket yang beberapa lalu coba kupahami tahu-tahu sudah tergeletak terbalik di lantai.

Tidak tidak tidak! Aku tak bisa terus begini. Nila, enyahkan itu. Pikirkan nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk merenungi kejadian yang lalu. Besok ujian, dan aku harus bersegera belajar andai tak mau mengosongi jawaban atau bahkan mengisi secara asal.

Ibu telah kembali bekerja. Masa liburnya habis tepat saat aku kembali sekolah.

Satu jam berlalu kuhabiskan dengan tak begitu menghasilkan hal yang benar-benar bisa dipahami.

Kepalaku penuh oleh kemarahan Lana petang tadi, bayangan akan bagaimana nantinya ujian akan berlangsung, juga pikiran apakah aku mampu menyelesaikannya dengan baik.

Buku paket dan catatan kubaca, tetapi mereka tak bisa masuk dengan benar dalam ingatan ketika aku mencoba memahami isinya. Pelajaran-pelajaran ini terlalu memusingkan.

Aku jadi berpikir, mengapa harus ada ujian sebagai kewajiban pengukuran kemampuan dan peraihan nilai tinggi sebagai pembuktian? Apakah mereka tak bisa dihapus? Sepenting apakah hal semacam ini dibanding praktik nyata?

Kemudian sebagai imbalan, piala, piagam, medali, diserahkan. Sebagai tanda, bahwa mereka yang tak mendapat hal semacam itu adalah sosok gagal.

Apakah semua benda itu penting? Apa alasan di balik Ibu yang selalu memuji-muji dan bahkan memberi janji banyak hal menyenangkan setelah aku menerima semacam timbal balik seperti itu atas hasil belajar selama ini?

Mengapa? Bukankah mereka hanya cukup sebagai pajangan dan validasi bahwa apa yang kau lakukan dengan belajarmu selama ini mencapai titik tertingginya?

Sejak dulu, tiap kali tes tulis, latihan soal, bahkan tugas untuk dikerjakan di rumah, selalu menuntutku untuk menghasilkan skor dan jawaban terbaik, harus sama persis. Tak bisa dengan pendapat sendiri setelah menelaah buku.

Maksudku, aku pernah mendapat pengalaman di waktu kecil ketika tak begitu setuju dengan pendapat seorang guru, lalu kubuktikan sedikit kesalahan pendapat itu, menukarnya sopan dengan aegumenku sendiri.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang