Aku masih memikirkannya setelah satu jam pulang. Lagi. Dan lagi. Tanpa henti. Tanpa jeda. Terus berpikir. Membayangkan. Menyesal, lalu hampir-hampir menangis.
Kayuhan yang kukebut sebenarnya hanya sebagai penanda kebohongan pada diri sendiri, bahwa semuanya belum terlambat. Bahwa mungkin, di sana, pintu rumah itu masih terbuka. Karena dalam keadaan tak membawa apa pun selain sepeda, aku tak bisa menghubunginya.
Lalu, semuanya memang sudah terlambat. Rumah dengan teras keramik sewarna merah hati itu telah kosong. Tak ada satu pun alas kaki yang berjejer di undakan depan. Pintunya rapat tertutup, pula tirai-tirai yang sepenuhnya membentang panjang di jendela. Tetangga yang lewat memberitahu bahwa penghuninya sudah pergi sejak enam hari yang lalu.
Berapa kali pun mencoba mengetuk, usahaku sia-sia sebab tak akan ada yang menanggapi selain angin dingin yang berembus. Hampir siang, tetapi langit telah menyuram kelabu.
Akhirnya, aku berhenti mengetuk. Duduk sebentar di kursi teras. Memikirkan kembali sisa-sisa bayangan itu. Aku tahu, terkesan aneh mengapa perasaan ini menyelubungiku penuh sekarang. Seharusnya, ini bukan apa-apa yang patut kupikirkan. Namun, mengapa seolah aku ingin menolak kenyataan?
Menyebalkan!
Setelah duduk selama hampir sepuluh menit, aku memutuskan untuk pulang. Tidak ada yang bisa diharap. Waktunya sudah terlambat.
Kebetulan yang pas, Ibu dan Rika sedang tak di rumah ketika aku sampai membuka pintu. Jadi, aku tak perlu khawatir untuk menjelaskan keterlambatan perihal janji pada beliau bahwa aku hanya akan keluar selama dua jam.
Sekarang, fokusku hanya tertuju pada ponsel yang kumatikan selama seminggu demi memulihkan diri sejak penerimaan rapor.
Ketika menekan tombol power, layar ponsel menyala. Butuh waktu beberapa saat sampai benda itu bisa memunculkan layar kunci. Data kuhidupkan. Dan, dengan perasaan sesal dan kecewa yang masih tersisa, aku melihat beberapa balon pesan di sana yang satu persatu muncul.
Sekali dari Dika, lalu tiga milik Ari, sampai yang terbawah, enam hari yang lalu dari tanggalnya, milik Wisnu.
Memang sudah seterlambat ini sekarang. Apa yang bisa kuharapkan dengan kabar yang tersiar sangat telat ini? Bahkan, aku mungkin tidak akan pernah tahu sampai Paman mau menjelaskan semuanya. Itu pun karena aku bertanya.
Jariku sedikit tertahan untuk tak membuka, tetapi pada akhirnya hal itu kulakukan.
Kulewati pesan dari Ari dan Dika. Mengeklik pesan terbawah.
Aku sungguh tak ingin membaca sebenarnya, tetapi harus. Aku tak mau tahu akan seperti apa isinya, tetapi aku tak bisa menghentikan keinginan untuk memeriksa.
17 Desember 20××
Wisnu [Tugas Kelompok]
Nila, kamu enggak ada rencana liburan apa-apa habis semester ini?
18:01Wisnu [Tugas Kelompok]
Maaf. Cuma nanya.
18:15Wisnu [Tugas Kelompok]
Aku bakal pindah. Kak Nia harus berobat. Kami dijemput Bapak tadi pagi.
18:20Wisnu [Tugas Kelompok]
Jaga diri baik-baik, Nila.
18:27Setelah membacanya, aku bersikap selayaknya orang bodoh. Diam, memperhatikan layar dengan pandangan kabur. Anak itu bahkan telah memberi tahu di hari kepergiannya, dan aku sama sekali tak tahu karena ponsel yang dimatikan.
Wisnu pindah. Ke mana? Luar kota? Luar pulau?
Kabar mendadak ini, entah mengapa terasa sangat menyebalkan sekarang. Aku kesal setengah mati dan tak cukup mengerti alasan bersikap seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...