Karena merasa tak enak dan tak mampu menolak, maka aku setuju mengikuti Wisnu menyusuri jalan selatan pasar yang biasanya terdapat banyak toko-toko dan warung makan.
Sementara Wisnu memberi penawaran mengenai makanan apa yang akan kami nikmati nantinya, aku hanya mengangguk dan mengatakan apa pun yang Si Anak Berkaca Mata itu pilih, tak masalah. Kami melewati beberapa gerai yang hampir semuanya menjajakan bahan pokok makanan.
Barulah di bagian menuju ujung jalan selatan itu, toko-toko makanan dan warung kecil lebih mendominasi.
Aku dan Wisnu sempat melewati rental komik yang baru dua hari lalu kukunjungi bersama Ari. Melihatnya, aku jadi benar-benar khawatir soal keberadaan dan kondisi Dika yang masih belum pulang.
Aku tidak tahu seberapa buruk pundungnya akibat pertengkaran dengan Bibi Rani. Namun, situasi di antara anak dan Ibu itu pastilah bukan hanya perihal salah paham biasa.
Bahkan sejak hari kehilangan itu, Dika benar-benar mematikan ponsel dan sama sekali tak menggubris beberapa pesan dan panggilan yang kukirimkan.
"Wisnu ... hari ini tokonya enggak buka?"
Pertanyaan itu terucap saat aku dan Wisnu baru memarkirkan sepeda di depan sebuah warung makan. Tidak ada plakat atau papan yang biasa menyajikan daftar menu di depan. Jadi, aku masih menduga warung apa yang kami kunjungi.
Anak itu sedikit membetuli kaca mata dengan menyentuh bingkai bagian kanan.
"Aku belum bilang, ya?"
Keningku mengerut. Menatap sejenak pada Wisnu. Melepas pegangan pada setir setelah memastikan posisinya benar.
"Paman pulang ke rumah keluarganya."
Apa? Bukankah ... Paman tak memiliki istri dan anak, bahkan orang tua beliau sudah meninggal? Saudaranya juga sakit dan tak pernah pulang dari berobat. Beliau sendiri yang mengatakannya. Ia juga bercerita, sepanjang hidup, Paman Harun lebih suka ia yang menyukai masa kesendirian berteman barang-barang antik dan tokonya.
"Beliau emang sakit. Karena di sini enggak ada yang mau urus, Paman dijemput."
Bahkan Paman sama sekali tak memberi tahu.
"Kamu kok tahu, Nu?"
Terdengar Wisnu menghela napas. Ia berjalan mendekat. Berdiri menghadapku.
"Dua hari yang lalu aku dikabarin sepulang tutup toko. Paman bilang, mau dirawat di rumah keponakannya yang tinggal sendirian."
Keponakan? Lalu, seberapa lama Paman akan tinggal di sana?
"Ayo, masuk."
Kesadaranku baru pulih saat Wisnu bersuara dan melangkah mendahuluiku. Dia berdiri di depan pintu kayu warung bercat hijau tua yang sedikit pudar. Berbalik, menungguku yang masih terkejut atas kabar baru saja.
Segera kuikuti begitu sadar angin berdesir. Saat menatap langit, awan suram mulai melayang-layang. Kurasa, sebentar lagi akan turun hujan. Angin meniup-niup ke telinga terasa dingin.
Kukira, suasana yang akan kami temui saat masuk akan sama dengan warung-warung pada umumnya. Sesak dengan banyaknya pengunjung dan pasti berisik. Terlebih ini jam makan siang kantor. Mestinya akan ada banyak antrean dari pengojek online.
Saat memikirkan keputusan Wisnu untuk berhenti di sini sebelumnya, aku hampir menolak. Ingin pulang dengan alasan Ibu khawatir.
Berbeda dari dugaan, ternyata bayangan itu sama sekali jauh. Alih-alih rumah makan yang biasa berderet meja dan kursi yang saling berdempet dengan hanya menyisa jarak satu meter, rumah makan yang kumasuki mirip aula sanggar dengan alas tikar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...