07: Sapu Tangan

45 9 16
                                    

Aku memiliki pemahaman tersendiri ketika menilai orang-orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memiliki pemahaman tersendiri ketika menilai orang-orang. Meski sekelompok atau mayoritas memberi label baik kepada seseorang sebab yang terlihat memang begitu, aku tak pernah setuju. Sederhana, seseorang itu bukanlah siapa-siapa yang kuketahui.

Termasuk Bayu. Ari yang dulu begitu menggilai Si Kapten Basket itu pun mengaku bahwa Bayu merupakan sosok rendah hati, ramah, dan suka membantu.

Di banyak kesempatan, aku mengabaikannya serupa angin lalu. Memangnya, apa untung buatku? Aku tidak peduli. Pun, hal itu bukanlah sesuatu yang perlu diurusi. Namun, hari ini aku tidak tahu harus menyetujui gagasan anak-anak lain atau tidak.

Sejalan dengan pembicaraan yang merebak di seluruh sekolah, sosok Bayu yang anak-anak gambarkan cukup sesuai.

Kalaupun tidak, lantas mengapa ia mau bersusah payah mengotori tangan hanya demi memperbaiki rantai sepeda butut? Aku yakin, sebagai seseorang dengan kehidupan yang jauh lebih layak, menyentuh masalah kecil dan kotor seperti ini hanya membuang waktu, juga meninggalkan kesan rendah di mata orang lain.

Tidak. Aku bukan sembarang memberi label seperti itu. Karena kebanyakan, orang-orang mapan yang kutemui rata-rata terlalu tak acuh pada orang seperti keluargaku.

Mungkin, Ari benar. Tak semuanya akan begitu. Mungkin juga, aku tak bisa mengabaikan komentar gadis itu ketika memberitahu seberapa kaku dan sempit pemikiranku. Lantas, aku hanya berpikir bahwa jika mayoritas memiliki kepercayaan sempit dan jijik yang sama, kupandang pemikiran itu sebagai sebuah standar yang telah orang-orang patenkan.

Bukankah orang-orang sering kali mengikuti peraturan karena kebanyakan banyak melaksanakannya, alih-alih memegang kebenaran yang sebenarnya? Mirisnya lagi, mayoritas tak mau membuat kontra hanya karena kebenaran itu sedikit yang menganut. Mereka lebih baik berbuat keliru daripada dikucilkan.

Ah, sebenarnya juga adalah sebuah kesalahan ketika aku memandang Bayu sebagai anak lelaki populer yang hanya mau memandang seseorang yang berada 'sekelas denganya'.

Senyum anak itu di waktu terakhir kami berada di depan gerbang nampak terlalu tulus.  Memejam, kuenyahkan berbagai pikiran negatif mengenai orang yang tak begitu kukenal baik. Bayu bukan apa-apa, dan mungkin anak itu bersikap seperti waktu lalu demi mempertahankan citra positifnya di mata orang-orang. Siapa yang tahu?

Sesi makan malam di ruang makan nyaris sepenuhnya hening. Ibu seringnya lebih terganggu ketika hanya beberapa suap makanan yang masuk lalu ponselnya tak berhenti bergetar di atas meja. Sedangkan Rika mengesah lesu. Beberapa kali kedapatan hanya mengaduk makanan tanpa selera yang beruntungnya, Ibu tak begitu memperhatikan anak itu.

"Gak mau? Sini, buat kakak aja."

Rika menahan piringnya ketika kutarik. Sejenak, wajah sayunya menjadi perhatianku sebelum akhirnya kembali menyendok nasi.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang