29: Pesan Mengejutkan

15 6 0
                                    

Aku mungkin tidak akan terlalu peduli untuk ikut campur dan hanya memberi simpati dan empati seperlunya.

Andai, andai saja nomor asing tanpa nama dengan foto profil bergambar tali tambang bersimpul lingkaran menggantung di langit-langit, yang terus-menerus muncul di layar ponselku mengirim pesan dan gambar meresahkan. Dia persis terasa menerorku di antara kesibukan suntuk memahami pelajaran.

+62XXXXXXXXXXX
Nila, tolong. Tolong dengerin aku. Balas chat atau angkat telepon.
18:03

Tanganku gemetar menahan jari untuk tak menyentuh permukaan layar ponsel di atas meja belajar sampai buku kini sepenuhnya kuabaikan. Padahal, besok diksusi mengenai tugas akan kembali berlanjut.

Semestinya, aku memetakan beberapa materi yang telah Wisnu rangkum. Aku hanya perlu mencari materi pendukung lain dan menjabarkannya. Namun, foto mengerikan dan pesan yang bertubi-tubi kemunculannya mampu mengalihkan fokusku sepenuhnya.

Apa ... apa yang anak itu mau? Apa pula maksud Bayu mengirimiku gambar pisau tergeletak di lantai dengan noda merah pekat itu? Apa yang anak itu lakukan? Mengapa harus aku yang menjadi sasaran?

Kuremas-remas jari. Sesekali beralih menggigitnya. Ponsel bergetar kembali.

+62XXXXXXXXXXX
Anak-anak pasti udah tahu, 'kan? Aku harus gimana? Aku bener-bener enggak punya muka, Nila.
18:04

Karena sekelebat bayangan buruk dan kesimpulan akan kemungkinan yang terjadi, kutepis rasa takut, mencoba menurunkan debar dada dengan menarik napas panjang. Melonggarkan genggaman erat tangan yang mengepal. Berbisik pada diri sendiri untuk tak perlu cemas.

Jika nanti anak itu benar-benar nekat melakukan sesuatu karena aku, orang yang mungkin dihubungi dengan harapan bisa menolong, tetapi orang itu gagal, maka secara tidak langsung aku telah menjadi penyebab utamanya.

Karena itu, bagaimana pun rasa tak nyaman yang mengendap, aku harus membalas pesannya.

Kemungkinan besar, semua ini terkait dengan unggahan akun anonim itu. Juga komentar-komentar pedas di bawahnya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan unggahan itu dan Bayu?

Bayu, aku mohon jangan ngapa-ngapain. Serius, besok aku mau ngomong. Kalau mau ketemu, ayo. Tapi sekarang jangan lakuin apa-apa di sana, oke? Aku di sini, aku bakal temenin. Jangan matiin ponselnya.
18:06

Tolong jangan apa-apain diri kamu. Aku bakal dengerin. Aku di sini.
18:08

Tanganku gemetar. Menunggu dengan resah sambil sesekali menepis bayangan buruk. Anak itu tak akan melakukan apa pun. Mungkin, dia akan benar-benar mengurungkan niatnya yang kutebak buruk. Namun, apakah mungkin begitu? Bagaimana bila sebaliknya?

Tak apa, Nila. Yakinkan bahwa ini bukan salahmu andai terjadi sesuatu.

Aku menunggu selama satu, dua, lima, hingga sepuluh menit bersama suara serak radio Ayah yang dikecilkan. Sayangnya, Bayu tak membalas apa-apa lagi. Penanda aktif di profil anak itu hilang. Pesan yang kukirim tak terbaca olehnya dan resahku jelas lebih besar sekarang.

***

Seperti kata Ibu di makan malam sebelumnya, rumah telah bersih. Aku benar-benar dibebaskan dari tanggung jawab menyapu, mencuci baju, juga mencuci piring yang biasa kulakukan di pagi buta sebelum membersihkan diri untuk berangkat sekolah.

Kepala masih terasa sangat pening. Nyaris semalam aku terjaga, dan tidur tepat pukul setengah empat pagi di atas lengan yang terbaring bersama buku berserak di meja. Hanya demi sebuah resah menunggui ponsel sewaktu-waktu akan berdering oleh panggilan atau pesan balasan.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang