Selama satu jam, Bu Iyas yang menggantikan amanat mengajar guru sejarah kami, tak pernah membiarkan dirinya duduk ketika penjelasan beliau melibatkan spidol hitam dan papan tulis. Beberapa murid barisan belakang yang jenuh, memilih mengabaikan, hingga terlelap di atas meja dengan menumpu kepala dengan lengan.
Selain cara mengajarnya yang kelewat serius, anak-anak juga terlalu takut untuk menjawab ketika Bu Iyas mengajukan tanya. Kecuali Wisnu, satu-satunya anak yang mengangkat tangan dan memberi penjelasan pada tiga pertanyaan yang Guru di depan kami berikan.
Tidak seperti ajaran Ibu di mana lelah di dalam kelas adalah tindakan tidak benar, hari ini aku merasa ingin waktu cepat-cepat selesai, beranjak sore, lalu pulang. Pengumuman lomba di mading masih membuatku sakit hati. Padahal, seharusnya itu bukan apa-apa lagi.
"Kelompoknya sudah Ibu tentukan. Per masing-masing terdiri dari dua orang."
Punggungku terasa menegang saat guru perempuan muda dua puluhan dengan jilbab coklat yang ia lilitkan di leher itu meraih kertas di atas meja.
Apakah tidak boleh mengajukan pengerjaan tugas secara mandiri? Aku memiliki banyak dalih untuk menjawab pertanyaan yang akan Bu Iyas ajukan andai ia nanti tak menyetujui usulku untuk tugas ini. Namun, beberpa saat aku kembali berpikir bahwa jawabanku sama sekali bukan alasan yang bisa memberikan kelonggaran pada peraturan guru yang terkenal dengan keputusan mutlaknya itu.
Jadi, kuputuskan untuk tetap diam.
"Riska satu kelompok dengan Adam, Ratih dengan Zidan, Sinta dengan Rama."
Di kesempatan nama anak di kelompok ketiga Bu Iyas sebut, suara sahut-sahutan beriring gelak tawa disambut siulan menggema memenuhi seisi kelas. Suara gaduh anak-anak baru berhenti ketika Bu Iyas menggebrak meja menggunakan kayu balok panjang yang biasa ia bawa, dalam sekali entak.
Karena nama mereka, Sinta dan Rama selalu langganan menjadi korban bulan-bulanan anak-anak dalam bermain menjodohkan teman sekelas yang mereka pikir cocok. Namun, siapa sangka karena itu pula dua orang itu akhirnya benar-benar terikat dalam hubungan percintaan. Beruntungnya, aku tak pernah disentuh yang lain untuk dilibatkan dalam gurauan menggelikan semacam itu.
Tidak tidak tidak! Tidak akan!
Aku harus tetap mempertahankan posisiku menjadi tidak begitu dihiraukan apalagi sampai terlibat perbicangan.
Ari yang duduk di sampingku kini tengah fokus menatap Bu Iyas dengan pandangan penuh harap. Berkali-kali, ia menepuk pundakku dan berujar semoga kami berada dalam kelompok yang sama. Aku hanya mengiyakan, tersenyum dan membalasnya dengan kalimat, "Kita pasti satu kelompok, kok. Kan, dari dulu emang gitu."
Sayangnya, suara Bu Iyas memberiku pikiran untuk awas.
"Aris—eh, Tita, satu kelompok dengan Radin."
Mulailah wajah anak itu berubah masam bersama bibirnya yang mencebik. Selain kekesalan karena nama panggilannya yang salah sebut hingga menimbulkan tawa anak sekelas, gadis itu juga nyaris mengangkat tangan, tetapi dihentikannya begitu Bu Iyas kembali melanjutkan nama-nama berikutnya.
Meski berusaha untuk tidak menujukkan raut muka apa-apa, nyatanya aku tengah menahan gelisah dengan meremat jemari di bawah meja. Jika bukan Ari, sudah jelas teman tak akrab yang akan sekelompok denganku.
Dalam hati, aku berharap bahwa nama yang akan Bu Iyas sebut untukku adalah Hani. Kendati kami tak begitu akrab, setidaknya ia satu jadwal piket denganku. Dan yang terpenting, anak itu perempuan.
Dari empat belas murid dalam kelas yang delapan dari mereka sudah terbagi ke dalam empat kelompok, kira-kira ... siapa yang akan menjadi rekanku mengerjakan tugas? Kuharap dia benar-benar Hani, atau Tia yang sedikit berisik pun tidak masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...