• [𝐀𝐍𝐒𝐈𝐄𝐓𝐀𝐒: 00/09] 47: Salah Bicara

10 9 0
                                    

Aku kembali mengobati luka Lana tepat saat jam tangan tak berhenti berbunyi. Bukan ingin membiarkan, tapi jam itu akan terus begitu sampai lima hingga sepuluh menit. Waktu pulangku kembali sedikit telat, dan sedikit merasa aneh bahwa Ibu tak begitu memusingkannya.

Sudah kukabari lewat pesan, bahwa hari ini aku pergi ke rumah Paman untuk menjenguk. Di sana, kutulis juga ucapan maaf sebab lupa untuk mengabari lebih awal. Balasan Ibu di luar dugaan. Beliau mengirimi stiker senyum dan kalimat yang tertulis di pesan, "Iya, enggak apa-apa. Tapi jangan sampe maghrib, Nila."

Apakah Ibu akan tetap seperti itu, aku masih mengira-ngira.

Aku mengambil setengah jam lagi demi membereskan luka Lana. Sejak apa yang terjadi beberapa saat lalu, anak itu terdiam. Dia memalingkan wajah saat tatapan kami tak sengaja bertemu. Jelas, situasi ini melebihi canggung biasa. Jadi, karenanya tidak satu pun dari kami yang memecah hening kecuali Cepot yang sibuk memutari kurungan.

"Maaf kalau aku selalu ngerepotin dan bersikap kekanak-kanakan, Nila."

Aku diam. Sesekali berusaha mengaburkan pandangan saat menyeka darah yang mengalir dari lengan besar Bayu. Perutku bergejolak, meski tak begitu usah dipikirkan.

Demi menyembunyikan resah agar Bayu tak menemukannya, aku juga sengaja beberapa kali tak memperhatikan dengan benar sampai di beberapa kesempatan, Si Kapten Basket mengaduh kecil karena usapan yang asal atau saat dia tiba-tiba mengarahkan sendiri tanganku ketika tak mengenai tempat seharusnya.

Karena itu, beberapa kali lainnya aku tersentak hingga menjauhkan tangan begitu saja.

Ini ... sangat tak benar.

"Ka–kalau sadar buat itu, jangan lakuin hal-hal berbahaya lagi. Bukan cuma kamu yang kena, tapi orang-orang sekitar kamu juga bakal ngerasain hal yang sama."

Lagi pula, tidak semua reaksi orang-orang yang terdekat denganmu adalah simpati ketika kau terpuruk. Alih-alih, mereka akan memberi label bahwa kau orang tak waras, bahwa kau hanya ingin diperhatikan secara lebih, atau tuduhan terburuk, mereka menganggapmu tak pernah mengingat Tuhan dengan benar.

Poin terakhir memang mungkin saja. Namun, masalahnya tak sesederhana itu. Perlu kesadaran yang sehat untuk melakukannya. Perlu juga dampingan untuk mengembalikan kondisi baik.

Konsepnya begitu sederhana mengapa mereka bisa sebegitu benci dan bahkan tak acuh sama sekali, karena masing-masing memiliki masalahnya sendiri. Perbedaannya hanyalah terletak pada bagaimana cara mereka menanggapi. Apakah dengan lapang dan senyum sehingga tampak baik-baik saja, atau justru merusak diri dengan banyak cara.

Terdengar konyol, memang. Saat aku mampu menyimpulkan suatu hal dan menemukan solusi, tetapi selalu menolak cara yang ada. Alih-alih, aku lebih sering bersifat tak acuh dan menganggap diri seakan paling menderita. Padahal, kenyataannya, responkulah yang menjadi masalah, dan aku belum bisa mengatasi hal itu dengan benar.

"Apa kamu juga termasuk, Nila?"

Tanganku berhenti, sedikit melirik bagaimana sekarang ekspresi mengesalkan Bayu kembali. Dia tercengir sementara menunggu jawaban. Aku berpaling, hampir menghempas kasar tangan anak itu.

"Paman pasti khawatir kalau tahu keponakannya mau bunuh diri. Kamu mau buat beliau tambah sakit? Inget, ya, Paman Harun itu udah tua. Jangan macem-macem tingkah, deh."

Tawa Bayu makin menjadi sampai badannya terguncang, dan gerakku membersihkan luka anak itu jadi terganggu.

"Tenang. Dia enggak tahu apa-apa soal luka ini. Paman percaya aja, tuh, waktu kubilang lenganku memar parah karena enggak sengaja mukul tiang lampu."

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang