Liburan akhir tahun telah tiba. Berbeda dari liburan-liburan sebelumnya yang biasa diisi dengan belajar dan mengurus beberapa pekerjaan rumah, sekarang aku bisa cukup santai untuk memikirkan bagaimana langkah selanjutnya.
Tak begitu peduli lagi pada target atau apa pun keinginan mutlak yang dulunya tak pernah bisa kutolak.
Ibu tidak berubah menyeramkan seperti yang kubayangkan. Beliau tak lagi memaksa, bahkan beberapa kali memintaku untuk mengambi jatah libur sebanyak yang kumau apabila kondisi tubuh sungguh tak baik.
Aku tahu ketika mendengarnya terasa seperti mimpi. Namun, itu semua sungguhan. Bukan igauan seperti yang sering kulakukan.
"Enggak apa-apa kalau Nila capek. Ibu enggak akan nuntut lagi."
Begitulah awal mula obrolan kami berakhir padaku yang mendapat izin untuk mampir ke toko Paman.
Lana, yang nomor ponselnya telah kusimpan tadi malam, mengabari bahwa dia akan berbaikan dengan Dika. Aku tidak mengerti pada awalnya bagaimana itu bisa terjadi. Hanya, ketika berpikir lebih jauh lagi, laki-laki kadang selalu mengejutkan. Mereka berkelahi seakan musuh, lalu berbaikan seakan tak pernah terjadi apa pun.
Kabar mengejutkan lainnya, yang sempat membuatku tak percaya, adalah pesan yang dikirimkan Ari bahwa dia akan datang juga ke toko. Dia tak kuberitahu apa pun soal Dika dan Lana, pula gadis itu tak bertanya. Jadi, kuasumsikan saja dia sudah tahu.
"Aku bakal ikut Papa Mama liburan buat akhir tahun ini. Kemarin malem mereka kabarin kayak gitu. Aneh, deh. Kesambet atau gimana?"
Bibir Ari sedikit maju. Seharusnya, itu menjadi berita bagus. Aku senang.
"Bagus, dong. Mungkin mereka kangen habisin waktu bareng sama anaknya."
Ari mengangkat wajah dari buku yang dibacanya, untuk menatapku dengan kerutan di kening.
"Apaan? Nanti kalau tahu-tahu ternyata buat pertemuan bisnis berkedok liburan gimana?"
Aku tertawa. Tak jadi membaca lanjutan bacaan.
"Ya, enggak apa-apa. Emang ada yang salah?"
Nah, mata gadis itu membulat sekarang.
"Ih, Nila! Aku enggak mau ikut mereka. Kami, kan, jarang ngobrol kalau enggak penting. Pasti canggung. Aku juga males kalau liat wajah mereka berdua."
Kucubit sedikit lengan gadis itu sampai ia mengaduh dan balas memukul.
"Enggak boleh gitu, Ri. Justru ini mungkin kesempatan buat kamu enggak canggung lagi sama mereka. Inget, lho, kamu tuh anaknya. Jadi wajar aja kalau orang tuamu mau habisin waktu liburan ini bareng kamu. Hitung-hitung liburan, alias kesempatan buat refreshing, kan? Dari pada di sini terus, sumpek yang ada."
Ari mencebik lagi. Namun, kilatan kesal di wajahnya sirna.
"Emang kamu enggak sumpek juga, La?"
Tidak. Aku nyaman di sini. Selalu nyaman meski dulu juga tak kalah sesak berada dalam rumah, tetapi ketika kusadari kembali, pergi keluar bertemu banyak orang juga tidak menghasilkan rasa senang.
"Biasa aja, sih."
Ari mengerang. Sempurma menutup buku dengan gerak cepat sampai Paman yang tengah fokus mendengar radio ikut terkejut. Gadis itu meminta maaf dan segera menunduk.
"Kamu enggak peka tahu! Aku, tuh, enggak mau ikut karena kepikiran kamu bakal kesepian di sini, La. Nanti yang ajak kamu keluar dari peradaban purba siapa kalau bukan aku?"
Apa katanya?
"Aku enggak sekaku itu, lho!"
"Heleh! Kalau boleh jujur, ya, La. Aku suka kesel dan eneg liat kamu belajaaar terus. Emang enggak ada hal lain apa yang bisa dilakuin selain itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...