09: Buku Sastra

32 6 13
                                    

Setengah jam sebelum bel masuk, jadwal piket sudah kupenuhi dengan kegiatan akhirnya mengumpulkan gulungan kertas juga bungkus cemilan yang berada di kolong-kolong meja ke tempat sampah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setengah jam sebelum bel masuk, jadwal piket sudah kupenuhi dengan kegiatan akhirnya mengumpulkan gulungan kertas juga bungkus cemilan yang berada di kolong-kolong meja ke tempat sampah.

Tidak ada murid lain. Hanya aku. Karena waktu masih begitu pagi ketika aku tiba. Ini bagus. Sebab rasa tak nyaman yang kualami belum mereda ketika mereka mulai mengacau sejak pagi.

Suara langkah-langkah di luar kelas menyusup masuk. Beberapa anak-anak kuintip dari balik jendela. Memastikan bahwa mereka adalah teman satu tugas piket denganku.

Meski tak akan menegur apabila mereka tak acuh, setidaknya, aku harus mengingatkan mengenai tugas kami agar tak hanya aku seorang diri yang menyelesaikannya. Sayangnya, bukan orang yang kumaksud yang tiba pagi itu. Melainkan anak kelas lain dan ... Wisnu.

Si Ketua Kelas itu memandang seluruh kelas dengan raut yang tak kumengerti. Langkahnya berhenti tepat di hadapanku yang berdiri di depan papan sambil memegang sapu dan kemucing.

Apa dia akan bertanya sesuatu? Atau ada yang aneh?

"Hari ini tugas piketku."

Jelas aku terkejut. Namun, keterkejutan itu hanya berupa entak jantung dan kebingungan yang membawaku untuk kembali mengingat pada jadwal.

Hari Rabu seharusnya tugas piketku, Hani, dan dua orang gadis lain yang sama sekali tak kuanggap akrab.

Keningku mengerut. Merasa aneh dan salah.

"Jadwal piket udah diganti dari seminggu yang lalu, Nila. Kamu enggak inget?"

Sejak kapan? Ah, tidak. Apa aku lupa?

Entah situasi macam apa yang kuhadapi, kecerobohan ini membuatku tak memiliki banyak kata untuk diungkapkan. Sebelum benar-benar hanya berdiri seperti patung di depan kelas, secara pelan Wisnu mengambil alih alat kebersihan dalam genggamanku.

Segera anak itu berjalan ke mejanya di barisan pertama paling belakang, lalu selanjutnya mengulang kegiatan yang baru selesai kulakukan.

Aku harus pergi dari sini, tetapi di luar sudah mulai banyak anak-anak yang datang. Banyak anak laki-laki duduk di bangku keramik panjang di luar. Tawa mereka bahkan menggema hingga kelas. Tak ada pilihan lain selain aku menerima keadaan terjebak dalam kelas bersama Wisnu.

Tak apa, Nila. Abaikan dia. Baca buku dan pahami pelajaran sebelum bel masuk. Gunakan waktu untuk hal-hal berguna, tetapi—tidak! Di sini terlalu hening dan sesak yang membuat aneh karena seharusnya, aku menyukai situasi ini.

Seharusnya begitu. Namun, karena seorang lain yang mengisi kekosongan yang mesti benar-benar kosong, hening tenang ini terasa sesak. Sangat sesak hingga aku tak tahan dan ingin segera keluar.

Perasaan menyebalkan!

Kucoba untuk fokus dengan menekuri buku tulis dan LKS. Mencocokkan hasil kerja latihan dengan rumus dalam catatan. Barang kali terselip keliru atau perhitungan yang kulakukan kurang cermat.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang