37: Siapa Itu?

14 5 0
                                    

Aku harap, ini mimpi. Tidak sungguhan nyata seperti yang sebenarnya terjadi.

Lima menit yang lalu, ketika bel berbunyi untuk menandakan jam pelajaran telah berganti, perasaan resah sejak tadi menggerayangiku tiada henti.

Jemari tak henti kuremat demi meredam seluruh bayangan buruk itu.

Aku ... hanya berpikir bahwa reaksi anak-anak akan aneh nantinya. Sama sekali tak khawatir dengan Ari sebab gadis itu telah pulang segera setelah mendapat izin. Padahal, sudah kuperingati dia untuk lebih baik menitip absen daripada harus repot tetap pergi ke sekolah, lalu sejam selanjutnya izin pamit karena kepentingan keluarga.

"Aku takut kangen kalau enggak lihat kamu di sekolah. Dika juga lagi enggak ada. Aku tambah khawatir kalau kamu sendirian, Nila."

Ari bahkan dengan dramatis memelukku setelah baru tiba dari ruang guru. Seolah kami akan berpisah begitu lama. Gadis itu urung menarik tasnya yang berada di kolong meja.

Aku juga memikirkan hal yang sama sebelumnya. Namun, saat ingat akan membolos hari ini yang berarti hanya akan mengikuti dua jam pelajaran akhir yang tersisa nanti, cemasku yang sadar bahwa tak ada Ari di kelas sedikit berkurang.

Setidaknya, itu sebelum kesadaran lain memberi tahu bahwa aku dan Wisnu akan sama-sama meminta izin. Yang pasti, entah buruk atau tidak, teman sekelasku pasti akan berpikir aneh. Atau mungkin tidak. Iya, kan? Mereka pasti berpikir aku dan Wisnu begitu karena kami satu regu tugas kelompok.

Tapi, apa benar akan begitu?

Aku terdiam beberapa saat menerima perlakuan Ari sebab dilanda rasa malu karena beberapa anak di kelas menyaksikannya dengan wajah masam dan terganggu.

Ari tak memberi tahu urusan keluarga apa yang akan ia hadiri, dan aku sama sekali tak ingin membebaninya dengan tuntutan penjelasan. Biarlah gadis itu menceritakannya secara mandiri.

"Jangan terlalu banyak bertanya dan mengurus kalau enggak ada yang cerita, meski itu teman dan sahabat kamu sendiri, Nila."

Suara Ibu masih lekat di kepala.

Setelah dari ruang guru dan mendapat izin, aku keluar dengan langkah pelan mengekori Si Anak Berkaca Mata sambil tertunduk.

Aku mengingat dengan jelas raut wajah teman-teman saat pergantian jam pelajaran di mana guru untuk pelajaran selanjutnya belum tiba. Mereka memperhatikan, tampak tertegun meski selanjutnya tak acuh.

Mungkin, aku saja yang berpikir terlalu jauh. Namun, ketika mendapati tatapan seperti saat aku dan Wisnu keluar bersama, keinginan untuk menghilang segera menguasai pikiran. Nahasnya, situasi itu akan kuhadapi lagi saat masuk kelas untuk mengambil tas.

Aku berhenti dari jarak lima meter ke pintu kelas. Terdengar suara teman-teman yang ribut di sana. Sedikitnya tertawa, sebagian lain mengobrol keras-keras.

Mungkin, guru di jam selanjutnya benar-benar batal masuk setelah aku melihat rapat mereka di kantor.

Tidak. Aku tidak mungkin bisa menghindari tatapan itu.

Nila Nila Nila! Mereka tak akan peduli apa pun.

Tapi, mereka tetap akan menatap ketika aku melewati meja-meja itu. Apa yang akan teman-teman pikirkan tentangku nanti?

Ah, diam! Aku tak perlu berpikir sejauh itu.

"Kenapa, Nila? Mau kuambilin aja tasmu?"

Dengan cepat aku mendongak. Menemui Wisnu yang berdiri di ambang pintu tengah berbalik memperhatikanku.

"E–eh, enggak usah."

Itu bukan pertanyaan yang bagus. Bergegas aku maju mengikuti langkah Si Ketua Kelas yang cukup pelan. Meski tetap saja langkah kakinya yang jenjang itu terlalu lebar untuk disusul sehingga mau tak mau membuatku harus sedikit lebih cepat.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang