15: Merah

35 8 10
                                    

Hari pengumpulan cerpen akhirnya benar-benar di depanku sekarang. Selagi menunggu kumpulan anak di dalam ruang panitia sibuk menyerahkan cerpen mereka masing-masing, untuk sementara aku duduk menunggu di bangku panjang di luar sambil sesekali memperhatikan kertas di tangan. Ada banyak kekhawatiran ganjil meski telah yakin berusaha penuh dengan revisian selama tiga hari berturut-turut.

Aku telah yakin sebelumnya bahwa cacat dalam tulisan setidaknya sudah terlalu sedikit. Namun, ketika kubaca lagi di depan ruang pengumpulan, rasanya ada banyak sekali kata dan kalimat yang ingin diperbaiki. Sayang, waktu yang kumiliki terlalu sempit.

Seharusnya, Dika menemaniku di sini. Hanya, ketika pagi tadi aku mendapat kabar bahwa anak itu sakit akibat kehujanan sepulang manggung di kafe bersama Haikal, ia memintaku untuk menyampaikan izin absen hari ini pada temannya yang bermata sipit itu. Sempat aku bertanya mengapa ia tak mengabari rekannya secara langsung, dan Dika menjawab bahwa ia memang tak ingin. Sedangkan Ari, gadis itu tengah disibukkan dengan latihan voli di hari belakangan.

Selain turnamen basket yang tinggal menghitung hari, pertandingan voli antar sekolah tingkat kabupaten akan dilaksanakan setelahnya.

Jadi, aku terpaksa menunggu seorang diri bersama dengung-dengung aneh yang terus bersuara sementara juga kutekan kertas hingga sisi sudutnya kusut. Tertunduk dan mengalihkan fokus pada kisah yang telah kucetak pada kertas HVS.

Sampai beberapa waktu merasa gusar dengan sedikit kalimat yang ingin kuubah tetapi tak bisa, bangku kosong di sebelahku terisi seseorang. Aku melirik, tetapi tak memperhatikan wajahnya sama sekali. Tak segera menggeser jarak. Harus menunggu beberapa waktu agar orang itu tak mengira aku tak menyenangi kedatangannya.

Lalu, terdengar gumaman dengan melodi tak asing. Karena itulah, aku memberanikan diri untuk benar-benar menilik siapa orang ini. Ah, ya. Mungkin aku salah melihat.

Mengapa wajah dengan kacamatanya itu sampai mengejutkanku begini? Apa yang dilakukannya di sini? Apakah mendaftar juga?

Aku berniat benar-benar menyingkir demi menghindari kemungkinan kami akan mengobrol, entah membahas apa pun. Namun, badanku hanya menegak untuk selanjutnya kendur begitu melihat banyak anak-anak berkerumun di depan.

Menunggu giliran atau barang kali mereka sudah, tetapi menunggu temannya yang masih di dalam. Mungkin? Aku hanya menebak.

Anak-anak yang riuh mengobrol di depan, mampu membuat kepalaku terasa diaduk hingga menimbulkan nyeri yang hadir sesekali. Tidak tidak. Ini terlalu penuh dan berisik. Ingin sekali aku minggat.

Sayangnya, sebab alasan sama sekali belum masuk ruang, aku harus tetap di sini. Menunggu sampai anak-anak berkurang dan pergi, yang waktu pastinya tak bisa kutentukan kapan. Lagi-lagi situasi seperti ini tak bisa membuatku berkutik. Apa yang harus kulakukan? Aku sungguhan tak betah berada di sini.

Jari-jari tak hentinya kupilin dan tekan hingga bekas luka korekan kuku di ujung telunjuk beberapa hari yang lalu tak sengaja kukelupas hingga timbul perih. Membuatku sedikit berjengit dan mengaduh kecil.

Ada darah. Merah. Terang. Dan mengerikan. Tanganku sakit. Punggungku dingin dengan keringat. Kepalaku bahkan entah sedang memikirkan apa. Benar. Masa kecilku.

Ada banyak darah akibat terjatuh. Sebuah tangisan kecil dan peringatan dari seorang pria yang kurindui hadirnya, agar aku berhati-hati. Kepalaku berdenyut sakit sekarang.

Tidak tidak tidak, Nila. Itu hanya darah luka biasa. Tak perlu panik. Kejadian itu telah berlalu. Jemarimu tak apa. Luka itu tak apa. Kau hanya terlalu jauh.

Menyebalkan! Mengapa aku harus bersikap seperti ini?

Tahu-tahu ketika mengusap darah itu pelan-pelan pada rok abu-abu, seseorang di sebelahku menghentikannya.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang