• [𝐀𝐍𝐒𝐈𝐄𝐓𝐀𝐒: 04/06] 41: Kebenaran

15 6 0
                                    

Aku tidak akan mengabari apa pun seperti izin absen atau meninggalkan pesan pada guru piket maupun Ari. Biarlah gadis itu masuk sekolah tanpa perlu khawatir pada ketakutanku. Aku hanya ... tak bisa untuk pergi. Mungkin tiga hari sampai seminggu. Seperti tahun-tahun sebelumnya semasa sekolah.

Pagi ini, sebab tak ingin berbohong mengenai sekolah pada Ibu, kukatakan bahwa kepalaku pusing dan perut terasa melilit.

Bukan sebagai dalih. Itu sungguhan. Aku mengalaminya. Kepala pening sepulang sekolah kemarin membuatku sama sekali tak ingin beranjak dari kasur, tetapi karena menyiapkan lauk malam sebelum Ibu pulang bekerja tak bisa dilewatkan, aku bangun.

Tak seperti yang terduga bahwa Ibu akan bertanya macam-macam dan mengira sakitku sebagai bualan untuk tak masuk, justru beliau terdiam. Mengangguk sambi tersenyum tipis.

Aku tetap ragu apakah akhir-akhir ini wanita itu adalah Ibu. Perubahannya begitu aneh sampai mau tak mau kuhadapi sikapnya secara lebih canggung.

Meski merasa nyaman, aku tak bisa mengabaikannya begitu saja. Bagaimana bila ternyata perubahan itu menyangkut suatu hal? Sejak menemukan noda kopi di atas taplak meja tempo lalu, aku yakin ada sesuatu, seperti kehadiran seseorang. Luka lama Ibu. Bibi Ani lebih mungkin, tetapi kopi jelas tak akan pernah Ibu suguhkan untuk wanita itu.

Sekarang, Ibu dan Rika sudah berangkat. Tertinggal aku sendiri. Di dalam kamar. Duduk melamun. Sedikit bersyukur bahwa wajah Wisnu tak benar-benar menjadi hantu dengan hadir dalam bayanganku.

Jika sampai nanti hampir siang rasa pusing dan mual reda, aku berjanji untuk berkunjung sekali lagi ke rumah Paman, dan Rumah Sakit Jiwa yang terletak di jalan selatan pusat kota. Waktu nyaris siang adalah yang paling tepat.

Tidak akan ada banyak tetangga yang melihatku keluar rumah dan tahu bahwa hari ini membolos, sebab kebanyakan dari mereka pergi ke pasar, kantor, toko, atau sawah di sisi belakang Perumahan Utara. Andai pun begitu, pasti orang-orang itu mengira aku telah jatuh dalam putus asa sebab hasil sekolahku yang makin menurun.

Seperti yang pernah mereka katakan sebelumnya.

"Nila itu, si anaknya Hana makin ke sini makin males. Peringkatnya aja turun. Pasti gara-gara ibunya yang galak itu terlalu neken."

"Makanya Hana dicerein sama suaminya. Dapet laki kaya, ganteng, udah gitu baik perhatian kok disia-siain? Kalau saya, sih, mana mau begitu? Udah miskin, belagu!"

Aku jelas merasa tak enak dan marah. Mereka menyebut Ibu, yang berarti wajah beliau menjadi tercoreng karena anak beraw dari gadis tak bergunanya ini.

Semester pertama untuk kelas sebelas sudah sebentar lagi. Aku tak tahu apakah bisa meraih nilai seperti yang dijanjikan pada Ibu.

Andai masih tak berhasil, entah apa yang harus kulakukan. Ibu menaruh banyak harapan yang harus kuwujudkan agar senyum beliau bisa kupulihkan.

"Jangan hidup kayak ibu, Nila. Kamu harus lebih dari itu. Buktiin kalau kita enggak kayak pikiran orang-orang. Terutama keluarga ayahmu."

Tapi ... apakah aku mampu untuk itu?

Tangaku erat mengepal di atas lutut yang terlipat. Kuperhatikan plester yang membalut jari telunjuk dan ibu jari di tangan kanan, lalu jari manis dan jari kelingking di tangan kiri. Dari waktu awal memasang, seharusnya luka di dalam sudah mengering.

Jam dinding biru bergambar kucing di atas pintu kamar menunjuk angka sepuluh di jarum pendek. Sementara jarum panjang mengenai angka 6.

Aku harus pergi untuk memastikan semuanya. Tidak akan ada yang tahu aku keluar rumah. Tak perlu khawatir berlebih.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang