43: Kedatangan Ayah

10 8 0
                                    

Sampai petang, aku tetap berada di kamar. Belum ada tanda-tanda Rika pulang selama itu. Aku menduga-duga bahwa mungkin gadis itu di rumah Anin seperti biasanya. Rika mestinya akan mengabari. Namun, kali ini tidak. Terhitung tiga sampai empat jam lagi, Ibu akan pulang.

Aku keluar. Pergi ke dapur demi melihat beberapa persediaan bahan lauk di atas rak plastik yang bersisian dengan kompor. Hanya ada sepotong besar tempe mentah, satu kantung plastik tahu, dan seikat sayur layu yang sepertinya belum Ibu masak pagi tadi.

Saat hampir mengambil tempe untuk dipotong, terdengar ketukan pelan di pintu depan. Aku diam. Urung mengiris potongan pertama. Ingin mendengar lagi untuk memastikan telinga tak salah tangkap.

Nyatanya, suara itu tak ada. Memang telingaku saja yang salah dengar. Kuabaikan, tak mau memeriksa sekali pun. Namun, berselang lima detik setelahnya, muncul suara yang sama. Kali ini, ketukannya lebih cepat dan sedikit keras dari awal.

Dengan langkah yang masih terasa lemas, aku pergi ke depan untuk memeriksa siapa yang begitu langka bertamu petang hari ke rumah.

Aku tak berpikir untuk mengintipnya di balik tirai yang belum disibak sejak pagi. Lantas, kupilih membuka pintu. Di momen itulah, tubuh ini tak mampu untuk bergerak dan bertanya keperluan si tamu lebih jauh setelah melihatnya berbalik dengan alis terangkat dan mulut sedikit menganga.

Orang itu datang dengan atasan kemeja putih dan celana kain hitam, berakhir dengan sepatu mahal hitam mengilap yang membuatku tak ingin memercayai apa yang kulihat. Di balik tubuh pria jangkung di depanku, muncul seorang anak kecil sekitar usia empat tahun berambut keriting pendek.

Saat kuperhatikan, gadis kecil itu mengintip ragu di balik kaki jenjang pria di depannya. Memegang erat di sana.

"Ayah?"

"Nila?"

Kami menyebut satu sama lain bersamaan.

Aku terlalu bingung untuk memberi reaksi yang pantas semacam apa dalam situasi ini.

Seharusnya, perasaan sakit yang terpendam selama ini karena rindu bisa membuatku menghambur pelukan pada Ayah yang berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca saat memandangiku.

Seharusnya, aku menyambut beliau lebih haru dan manis. Sebagaimana anak perempuan yang kehilangan sosok pahlawannya selama ini. Memberi beliau senyum, dan mengeluarkan seluruh keluh kesah yang selama ini kusimpan sendirian.

Seharusnya, aku meminta Ayah untuk duduk, lalu bercerita bagaimana tumbuh kembangku dan Rika selama ini. Namun, dalam suasana terkejut dan mencekik yang canggung sekarang, aku sama sekali tak memiliki niat seperti itu.

Harapan apabila suatu saat aku benar-benar bisa melihat Ayah di masa remaja, terasa seperti mimpi konyol. Seperti permohonan lucu begitu gadis kecil yang meremat celana Ayah di kakinya hadir bersama beliau.

Gadis kecil itu adalah kebahagiaan Ayah yang baru. Pusat dunia beliau yang baru, yang menyadarkan bahwa aku dan Rika bukanlah satu-satunya.

Perasaanku terasa payah.

"Nila, gimana kabar kamu? Ayah kangen."

Di ambang pintu, kakiku yang lemas ingin jatuh saat itu juga. Aku tak memperhatikan apa pun lagi selain Ayah, yang seakan menunggu sambutan hangat yang rindu dari putrinya ini.

Dia menunggu, tetapi aku tak mau melakukannya begitu melihat gadis kecil bergaun batik coklat tanpa lengan itu mencengkeram kaki Ayah lebih kuat.

Matanya tajam menatapku dengan alis berkerut dalam. Seolah ia jadikan penegasan takut bahwa aku akan mengambil pria yang pernah mengisi hari-hari Ibu ini di depanku secara paksa.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang