22: Hasil Lomba

17 5 0
                                    

Siapa sangka, pagi itu sekolah lagi-lagi dimeriahkan oleh heboh anak-anak yang terlalu terkejut dengan hasil turnamen. Sejak itu pula, obrolan kagum anak-anak gadis di sini mulai dipertanyakan.

Sumber kabar buruk untuk itu semua adalah tim basket yang Bayu bawa ke pertandingan mengalami kekalahan telak. Menurut kabar, poin yang tim basket sekolah kami hasilkan nyatanya terlalu kecil untuk menyaingi apalagi sampai melampaui lawan.

Perkara itu, aku mengetahui dari Ari yang sejak pagi-pagi sekali menungguku di depan gerbang sekolah demi sebuah keterkejutan kecewanya pada Adin yang ia gadang-gadang akan menggantikan kecemerlangan Bayu.

Kemarin, ketika babak kedua baru selesai, aku pulang lebih dulu. Ari berbalik ke pertandingan setelah dia mengantarku sampai rumah. Dika sempat menawar mengantar, tetapi kutolak.

Kekalahan yang tim basket sekolah kami alami merupakan yang pertama sejak Bayu memimpin klub. Banyak yang tak menyangka, terkejut tak terima, menuduh tim lawan telah mencurangi tim kami, juga sebagian lagi justru balik meledek pada ketidakbecusan Si Kapten Basket sendiri yang gagal menjaga keamanan timnya. Entah gagal dalam bagian mana yang anak-anak maksud.

Menariknya, kalimat terakhir bernada sinis itu berasal dari beberapa murid lelaki yang kuduga mungkin menaruh iri pada popularitas yang dimiliki Si Kapten Basket, atau justru pada hal lainnya yang tidak pernah kumengerti.

"Aku bener-bener enggak nyangka, La. Kok bisa, sih? Waktu itu aku udah percaya diri banget karena tim kita selalu berhasil ngegagalin tim lawan buat masukin bola ke ring. Belum lagi pelanggaran satu pemain inti di tim sebelah yang buat dia sampe dikeluarin dari pertandingan makin bikin aku semangat buat ceng-cengin si tengil itu."

Aku melirik Ari yang beberapa kali mengerut kening, hingga menekan-nekan ujung lancip pulpennya ke meja. Sesekali juga gadis itu nyaris memakan bukunya sendiri yang berakibat pada aku yang harus merebut secara paksa.

"Jadi ... apa? Bukannya kalah menang itu biasa, ya, Ri? Realistis aja kalau bakal selalu ada perubahan. Sama kayak tim basket sekolah kita yang enggak mungkin jadi juara tiap pertandingan."

Kuangkat alis. Namun, tak seperti yang kupikirkan, Ari malah makin mengerutkan kening dengan bibir kecilnya mengerucut. Apa ada yang salah dari kata-kataku?

"Ya ampun, Nila ... kamu ini bener-bener ngeselin banget, sih, jadi orang!"

Tanpa kusangka lebih dulu, tiba-tiba Ari menekan gigi sementara mata sipit kecilnya memelotot tajam, sampai pada tangan gadis itu yang selanjutnya menarik kedua pipi hingga aku mengaduh dan mau tak mau memukul-mukul lengan Ari agar berhenti.

"Kamu bikin aku tambah kesel, deh, La!"

Ari benar-benar melepaskan tangannya setelah satu cibitan kudaratkan. Ia menjauh. Aku menanggapi gadis itu dengan lirikan sengit sambil mengusap-usap kedua pipi yang terasa panas dan berdenyut ngilu. Bekasnya pasti akan memerah.

Nahasnya, Ari hanya berpaling tanpa penyesalan. Alih-alih, ia sibuk menyiapkan buku dan alat tulis yang diseluk dari kolong meja.

Bibirnya masih mencebik. Mulutnya tak berhenti menumpahkan protes. Bahkan gerasak ketika anak itu meletakkan buku di meja telah menimbulkan suara berisik. Memberi kami perhatian lebih dari beberapa anak yang fokus dengan ponsel, buku, dan sebagian kecil yang lain tampak tak acuh ketika kupastikan reaksi mereka.

Hanya satu anak lelaki yang duduk paling belakang di sudut kelas—menyelonjorkan kaki ke atas meja sementara ia bersandar sambil tangannya bersedekap dengan mata memejam—yang memperingati agar Ari tak mengganggu jam tidurnya dengan berisik.

Aku bukan tak ingin bersimpati atau apa pun pada kekesalan Ari. Hanya, jika berpikir lebih jauh, kekalahan itu terasa biasa-biasa saja dan bukan masalah. Jelas bukan urusanku.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang