04: Memulai Penelitian

64 9 15
                                    

Dengan penuh perasaan gugup bercampur bahagia, akhirnya formulir pendaftaran telah berada di tangan panitia. Tentu saja dengan bantuan Dika setelah kami akhirnya berbaikan perihal kesalahpahaman kemarin. Anak itu berjanji untuk tak mengungkit banyak tentang Bayu.

Dia mengunjungiku di kelas. Sementara anak itu sibuk menyerahkan formulir, aku menungguinya di luar. Sesak peserta di dalam akan membuatku mual jika memberanikan diri untuk masuk.

Meski belum memiliki persiapan apa-apa sebagai pengajuan karya untuk lomba nanti, gambaran besar mengenai cerpen yang akan kutulis setidaknya telah terbayang.

"Apa pun yang terjadi, kamu jangan mundur, oke?"

Kutanggapi kalimat Dika dengan sebuah anggukan mantap beriring senyum. Tentu saja! Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Setelah keluar dari ruang pendaftaran, kami berencana untuk pergi ke perpustakaan. Juga sepulang sekolah, aku dan Dika akan berkunjung ke toko koran bekas seberang jalan besar.

"Nanti mau naik motor atau sepeda?"

Aku kembali melirik Dika yang kini tengah menatapku dengan kedua alisnya terangkat.

"Emang enggak apa-apa kalau aku numpang?"

Lalu sebuah tawa keluar. Tawa nyaring yang halus. Khas Dika sekali. Aku yang tak mengerti hanya memandang anak itu dengan kerut samar. Dia bahkan menepuk pundakku sekali.

"Astaga, Nila! Kita udah kenal berapa lama, sih? Kenapa kaku banget kayaknya?"

Apa Dika masih tak mengerti dengan reaksi Ibu ketika dia memboncengku sepulang sekolah dengan keadaan basah beberapa waktu sebelumnya?

Meski waktu itu aku akan pulang terlambat sebab menunggu hujan sedikit reda, yang mungkin itu lebih baik dibanding harus melanggar aturan. Namun, sebab waktu yang sedikit kulewati hari ini telah mencipta takut, terpaksa kuputuskan untuk menerima tawaran Dika.

Sebagai gantinya, aku akan dengan berat hati menerima pidato panjang Ibu sebagai teman makan malamku hingga beberapa hari ke depan setelah itu.

"Sepedaku gimana?"

"Titip ke bengkel sebelah, kan, enggak apa-apa. Nanti pulang dari toko aku antar sampe sana, deh." Kibasan tangan Dika nyaris saja mengenai wajah jika aku tak menggeser langkah.

"Oke." Tak ada pilihan untuk menolak. Aku harus cepat.

Mengayuh sepeda sejauh dua kilometer menuju toko akan mampu membuat kakiku pegal. Lagi pula, mengunjungi toko sendirian terasa sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

"Oh, ya, Nila."

Dika berhenti mengenakan helm yang diikuti tolehanku. "Apa?"

"Serius, kamu enggak ada sesuatu yang penting sama Bayu?"

Kuselidiki anak itu dengan tatapan tajam. Mengapa lagi? Bukankah dia mengatakan tak akan bertanya tentang itu?

"Kamu enggak percaya?"

Dan aku lebih tak menyangka sebab dia seolah bersikap curiga.

"Bukan gitu, Nil. Aku cuma mastiin kalau kamu enggak bakal ada masalah kalau berurusan sama itu anak tiang."

Tidak. Dika berbohong. Aku bisa merasakan tatapan dan gesturnya yang sedikit berbeda.

"Kalau kamu ngerti, Dik, aku sama sekali enggak ada apa-apa sama Bayu. Kamu pikir sendiri aja, deh."

Aku urung membonceng—yang semestinya sejak awal tak boleh kulakukan—dan pergi begitu saja ke parkiran.

***

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang