Aku mengingatkan diri sendiri. Berkali-kali sebelum benar-benar mengambil sepeda di penitipan dan menuntunnya keluar. Mengirim pesan pada Ibu bahwa aku akan pulang sedikit terlambat karena harus berkunjung ke toko buku. Selebihnya tak ada penjelasan lain karena aku tahu, Ibu tak akan membalasnya jika tak berada dalam situasi genting.
Kuperiksa kembali ponsel, sebelum memasukkan kembali dalam saku samping celana. Memastikan benda pipih berwarna hitam itu juga kuhidupkan dering dan bunyi notifikasinya.
Seharian ini, aku telah mengabaikan Dika dan tak begitu menanggapi curhatan Ari atas persoalan hubungannya dengan Adin yang tak kunjung menemui titik terang.
Entah apa pun itu, aku tetap tak bisa memberi solusi. Aku tidak peduli dan tidak memiliki pengalaman, juga sama sekali tak berminat terjun dalam menjalani hubungan berlandas ketertarikan apa pun dengan lawan jenis.
Sejak dua hari lalu, pikiranku telah kacau.
Jika rencana berjalan sesuai, seharusnya Bayu sudah tiba di toko lebih dulu sebab anak itu kembali absen sekolah. Kuberitahu Paman, bahwa aku akan berkunjung bersama seorang teman yang akan tiba di sana lebih awal hari ini.
Dalam perjalanan mengayuh pedal melewati jalan aspal kecil, kepalaku terus bersuara. Berisik dengan setumpuk pertanyaan yang terasa ganjil. Kupikirkan kembali kata-kata Bayu tempo lalu. Barang kali anak itu mengarang. Barangkali ada maksud tertentu mengapa ia harus menerorku hingga sejauh ini.
Walau mungkin terdengar jauh untuk berpikiran yang tidak-tidak, tetapi karena semua terasa mendadak, jelas tampak sangat aneh. Aku, siswi yang tak dipedulikan ini, sejak kapan bisa membuat nomor ponselnya yang jarang dibagi tiba-tiba tersimpan dalam kontak anak lelaki populer di sekolah? Dia bahkan mengaku sebagai teman lama.
Teman? Sejak kapan? Sejak masa sekolah yang mana?
Jika ini seperti dongeng, mungkin aku akan mengabaikannya dan tertawa. Namun, karena kebetulan klise ini sungguhan menimpa diri sendiri, itu terasa lebih menakutkan. Mungkin, lebih baik apabila aku berputar arah dan pulang sekarang. Jangan temui Bayu.
Sayangnya, dengan banyak pertimbangan dan keraguan di waktu selanjutnya, aku tetap harus menepati janji yang telah dibuat. Benar atau tidak perihal apa yang terjadi pada Si Kapten Basket, aku harus memeriksa lebih dulu demi memastikan.
Usai meletakkan sepeda di tempat parkir kecil depan toko, aku tak lantas masuk. Lagi-lagi harus memastikan ponsel. Memeriksa, bahwa apa pun yang kulakukan hari ini hanyalah sebuah tindakan konyol.
Jika benar begitu, bisa kupastikan akan semalu apa sebab telah merepoti diri sendiri dengan ketidakjelasan yang Bayu perbuat. Seolah ia penting, seolah anak itu benar-benar membutuhkan pertolongan.
Toko tampak sepi, sepertinya. Tidak ada kehadiran Paman Harun yang biasa betah di kasir. Bunyi radionya di atas konter melantunkan lagu-lagu jazz dari musisi Indonesia lawas. Pasti Paman sudah membetuli benar benda kesayangannya itu.
Ada suara ricuh dari arah kanan belakang. Ketika aku menoleh, lima anak kecil berbaju lusuh longgar dengan bawahan celana selutut, melewatiku bersama gitar kecil mereka yang dipeluk.
Berlarian bersama teriakan menuju pepatnya kendaraan yang tengah membunyikan berisik klakson di jalan seberang, menghampiri para pengendara yang menunggu bergantinya lampu merah di perempatan.
Aku mungkin akan benar-benar berdiri terpaku bersama bising kendaraan yang melintas di jalan tepat belakang punggung, andai saja tak ada sesuara berat dalam yang mengejutkanku. Ketika berbalik, kudapati Wisnu dengan setelan kemeja kotak-kotak biru tua dengan kaus putih polos yang terlipat rapi bagian ujungnya ke dalam celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...