Aku jelas tidak tahu dan sama sekali tidak bertanya mengenai urusan apa yang membuat Wisnu mempercepat kayuhan sepeda hingga beberapa kali kami nyaris terperosok dalam air coklat menggenang di lubang aspal.
Ia berkali-kali berseru maaf tanpa menoleh. Lajunya tak memelan. Beberapa saat, aku merasa keputusan ini salah.
Dari jalan raya yang bising oleh suara knalpot dan teriakan beberapa pedagang di pinggir jalan, kami berbelok di tikungan gang kecil. Tak jauh berbeda dengan suasana lingkungan rumahku. Kami memasuki jalan balok semen selebar tiga meter. Melewati rumah-rumah yang dijaraki oleh halaman sepetak berumput yang dibatasi pagar bambu bercat kuning. Semuanya seragam.
Beberapa wanita tampak duduk di teras. Menemani anak mereka yang masih kecil sambil sesekali merayu anak-anak itu dengan satu suap makanan. Aku nyaris tertawa melihat beberapa anak-anak yang mukanya sedikit berantakan oleh bercak tak rata putih yang kutebak pasti itu bedak bayi.
Awan kelabu masih memayungi. Guntur kembali terdengar bersamaan rintik yang pelan-pelan menetes.
Oh, tidak. Kuharap hujan akan benar-benar berhenti. Aku harus segera pulang.
Sepedaku berbelok ke satu tikungan lagi. Melewati jalan setapak. Kami akhirnya berhenti di depan halaman rumah bercat ungu muda. Tepat ketika turun, hujan benar-benar membasahi kami.
Aku mengira Wisnu sudah lupa dan hanya terfokus pada urusan mendesaknya. Sebab itu, nyaris kutarik sepeda yang anak lelaki itu letakkan di sisi rumahnya yang tak terkena basah hujan. Meneguhkan tekad bahwa aku akan menerobos deras itu setelah memasang mantel pada tas. Jamku sudah berbunyi untuk kedua kali. Tak seharusnya aku melanggar waktu.
Aku memang sudah meminta izin akan keterlambatan jam pulang. Ibu menyetujuinya dan meminta agar aku pulang, segera setelah pengerjaan tugas selesai. Tidak ke mana pun. Pulang tanpa beralih ke arah mana pun.
Aku bergerak akan menarik sepeda, sebelum akhirnya Wisnu berbalik dan meminta agar berteduh. Anak itu membawaku ke teras rumahnya yang memiliki lantai keramik serona merah hati. Pintu rumahnya yang bercat abu-abu tertutup rapat. Juga tirai merah di baliknya.
Aku sadar tidak bisa segera pulang.
"Tunggu di sini, Nila. Aku periksa Kak Nia dulu."
Aku mengangguk. Mendudukkan diri setelah Wisnu bergegas masuk rumah. Dalam benak, aku sangat penasaran sebenarnya akan sesuatu apa yang membuat Si Anak Berkaca Mata itu seolah tak memiliki waktu untuk berdiam sebentar. Kendati begitu, aku tetap bertahan untuk tak bertanya dan ikut campur.
Hujan makin deras. Angin berdesir kencang hingga membawa rintik-rintik itu memercik mengenai lantai yang berbatasan dengan dua tingkat undakan semen. Beruntungnya, jarak undakan dan teras di rumah ini cukup untuk tak membuatku basah kedinginan akibat terkena ciprat hujan.
Sesekali guntur menyambar. Namun, tak sekeras seperti sebelumnya. Angin berdesir kembali. Membuatku langsung mengangkat tangan demi menutup telinga dari terpaan dingin yang seolah meniup-niup.
Dari semua bagian tubuh yang dingin, aku hanya paling tak tahan jika itu mengenai telinga. Mereka lebih dingin dari jari-jari tangan beku yang sering membiru di ujung.
Lagi-lagi guntur menggelegar, bersamaan ponselku yang bergetar di balik saku rok. Setelah menyeluk dan mengetuk layar kuncinya dua kali, sebuah balon pesan muncul. Sebab pengirim yang tak biasa, mendadak punggungku terasa tegang. Secara cepat, tanganku menggeser layar.
Itu dari Ibu.
Ibu
Nila, hari ini jangan pulang cepet. Mampir dulu ke rumah Ari atau Dika. Ibu sibuk banget soalnya hari ini. Rika udah ibu suruh ke rumahnya Anin. Rumah sepi. Inget, jangan pulang dulu. Kalau laper, beli nasi warung aja dulu pakek uang saku. Nanti ibu ganti.
16:45
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...