"Enggak enggak! Ayo, dong! Masa iya nonton turnamenku aja enggak mau? Emang enggak bosen di rumah belajar seharian suntuk?"
Ari masih memegangi pergelangan tanganku selama kami berjalan melewati lorong menuju kelas. Sejak tiba di sekolah, gadis itu telah menyerbu dengan permohonan memelas yang sedikit banyaknya membuat tak tega. Hingga meragukan diri sendiri apakah keputusanku benar atau sebaliknya.
"Ayo, dong, La." Langkahku ikut terhenti ketika Ari melakukannya. Mata sipit gadis itu menyayu, tetapi berbinar oleh sebuah harapan.
"Tahun lalu kamu juga enggak mau. Tolong, ya? Plis plis plis. Aku traktir buku, deh. Buku pelajaran, LKS, buku latihan soal, kumpulan rumus, buku tanya jawab, novel, dongeng, atau apa aja, deh, biar kamu seneng!"
Bibir tipis Ari sedikit maju. Sama sekali ia tak melepas tautan pandangannya. Membuatku kikuk sampai harus berpaling.
Ah, tidak. Aku makin meragukan keputusan yang kubuat. Tidak ada menonton turnamen, tidak ada keluar rumah tanpa kepentingan, tidak ada membuang waktu demi menghibur diri, tidak ada ke mana pun. Hanya di rumah. Menghabiskan waktu libur karena lomba untuk belajar atau membaca buku-buku. Benar, begitu.
Hanya, ketika sahabatku yang satu itu menyebut imbalan yang akan diberinya. Sedikit ada ketertarikan yang bisa meruntuhkan egoku.
Ari ... dia tidak boleh menggodaku seperti ini!
Aku berharap gadis itu akan berhenti memohon, dan aku tak begitu peduli dengan tawarannya. Namun, Ari tetaplah Ari. Dia akan mencoba segala bujukan menggiurkan demi membuatku luluh.
Bukannya enggan atau terlalu malas, aku hanya tak mampu untuk terus berlama-lama di sana. Tidak bisa. Tidak selama banyak orang, banyak suara, sesak, berisik, berkumpul, dan aku tidak bisa ke mana pun.
Tidak untuk terjebak dalam situasi yang akan membuat jantung bekerja lebih keras dan tentu saja, bajuku akan basah oleh keringat. Aku tidak mau mengalami perut melilit dan muntah begitu sorak sorai pertandingan dimulai.
Oh, bahkan membayangkan itu saja nyaris membuat kepalaku pecah. Tak bisakah aku sedikit menahan diri demi Ari? Mungkin, orang-orang tak seburuk itu. Aku hanya perlu membawa teman lain. Dika. Lagi pula, itu semua hanya pemikiranku yang belum terbukti. Iya, 'kan? Seharusnya begitu, 'kan?
Tawaran Ari memang menarik, tetapi sungguh, sedikitnya aku terganggu dengan gagasan gadis itu yang keliru. Siapa bilang aku sennag dengan buku-buku teori dan latihsn seperti itu?
Selama ini, aku tidak benar-benar menikmati bagaimana proses belajar yang kualami tiap hari.
Bergelut sepanjang hari dan malam dengan buku demi sebuah angka sempurna tinggi di kertas pengujian bukanlah kesenangan yang bisa kunikmati. Ari salah. Orang-orang juga. Mereka selalu salah mengira bahwa aku terlalu gila dengan pelajaran hingga tak punya waktu untuk berteman dan memedulikan sekitar.
Bukan itu. Sama sekali bukan! Juga peringkat, kertas-kertas penghargaan, bahkan logam yang dipoles warna emas itu tak pernah membuktikan dengan benar.
Alih-alih, benda-benda itu selalu mampu membuat teror. Mereka seolah hidup, memandangku dari balik lemari kaca kecil di ruang tengah. Seolah berbicara lantang, bahwa aku harus mendapatkan lebih banyak lagi untuk dikoleksi. Bahwa Ibu akan senang apabila bisa kuisi lemari kecil itu sampai penuh sesak.
Mereka semua kudapatkan dengan air mata dan dorongan untuk tak menorehkan kecewa di raut wajah Ibu. Demi sebuah bukti pada mereka, orang-orang menyebalkan di luar sana, bahwa kami tak seperti yang sering dikatakan.
Tidak tidak tidak! Bukan karena aku jenius, bukan karena aku gila pelajaran.
Kutarik napas panjang, hanya demi mengenyah sesak yang mendadak bergelenyar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...