46: Semuanya Tidak Pernah Mudah, Tapi Mari Coba Pikirkan Lagi

13 4 0
                                    

Pintu rumah Paman terbuka. Ada jejak roda di jalan setapak tengah yang kuduga bekas roda motor besar.

Setelah memarkirkan sepeda di halaman, aku melangkah ke teras. Samar-samar terdengar suara tawa. Dua orang. Jelas salah satunya adalah Paman, tetapi orang lain yang kudengar bukanlah suara perempuan. Laki-laki, dan kedengarannya suara itu tak begitu asing.

Aku sempat menduga bahwa mungkin itu Wisnu. Namun, anak itu bilang dia hanya akan langsung ke toko. Dika pun bukan. Aku tahu persis bagaimana suara tawanya. Lalu, siapa orang itu? Apakah perlu aku masuk?

Tidak tidak. Tidak bisa. Aku ingin ingin pulang. Mungkin, besok saja kutemui Paman. Benar. Beliau sepertinya memiliki tamu penting.

Dalam langkah gegas menuju sepeda, gerakku terhenti begitu saja oleh suara panggilan di belakang. Bukan Paman.

"Enggak jadi masuk, Nila?"

Suara serak itu. Demi apa pun, apakah ini candaan? Ketika aku berbalik, dugaan itu sepenuhnya benar begitu kudapati tubuh tinggi tegapnya berdiri di undakan. Mengulas senyum dengan kedua alis terangkat.

Mengapa Bayu ada di sini?

Aku berpaling. Menyasar apa pun untuk diperhatikan selain wajah Bayu. Lalu tertawa hambar. Tak menemukan kata-kata yang cocok untuk disuarakan.

Tak lama, Paman muncul dari belakang, mendekati Bayu sambil menepuk pundak anak itu. Paman melihatku.

"Nila? Wah, Paman kangen liat kamu. Ayo masuk!" Beliau lalu menatap Bayu sambil berujar kembali, "Kenapa enggak kamu suruh, Bayu?" Dan anak itu hanya tercengir singkat sebagai balasan.

Aku berdiri kaku seperti orang bodoh memperhatikan dua orang yang saling melempar tawa itu. Seperti orang asing dan apa yang kulihat terasa sangat, sangat aneh.

"Nilanya diem, Paman. Perlu Bayu seret kayaknya."

Saat Bayu melangkah mendekati, barulah aku sadar dari ketertegunan demi menolak tangannya yang nyaris menarikku.

Paman telah masuk saat Bayu tertawa sambil berkacak pinggang, menghadapku yang melangkah mundur hingga punggung menubruk sepeda begitu anak itu merendahkan wajah dengan matanya yang tak lepas memperhatikanku.

Ah, tidak tidak tidak! Aku begitu benci dengan semua anak lelaki yang melakukan hal seperti ini.

Dia tersenyum, tak segera pudar sehingga aku berpikir mungkin ada yang salah di wajah atau penampilan.

"A–ada yang aneh, ya? Kenapa kamu senyum begitu?" Kuremat tangan yang mulai gemetar di belakang punggung. Melangkah mundur sekali lagi sampai hampir terjatuh saat Si Kapten Basket makin mendekat.

Kutatap sengit anak itu supaya menjauh. "Kenapa deket-deket?"

Apakah itu benar aku yang baru saja bersuara? Bagaimana mungkin?

"Mau masuk atau enggak? Kalau mau pulang, ya udah sana!"

Beruntungnya, tubuh Si Kapten Basket tak lama kembali tegap. Tangannya bersedekap sementara bibir anak itu mencebik. Saat melihat Bayu dengan gestur seperti itu, sosok Lana yang sama seperti pertama kali kutemui di depan toilet sekolah dengan seragam lusuh yang kotor tiba-tiba terbayang.

Super menyebalkan dan jahil, terlalu percaya diri.

"Atau kamu mau kugendong aja? Ala-ala pangeran atau badboy di novel, gitu?"

Dasar anak lelaki sinting! Apa Bayu pikir hal seperti itu patut diucapkan?

"E–eh. Engggak enggak enggak! Sana jauh-jauh!"

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang