10: Absen

34 8 15
                                    

Aku duduk bersama Bibi Rani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku duduk bersama Bibi Rani. Setelah kesepakatan janji yang kusetujui mengenai permintaan Ibu Dika minggu lalu untuk berkunjung. Kami berada di teras. Duduk di kursi kayu coklat dengan meja kayu berwarna senada sebagai tempat peralatan rajut diletakkan. Hanya berdua.

Satu jam yang lalu, Dika pamit keluar untuk mengisi acara musik bersama Haikal yang entah apa pun itu, aku tak mengerti. Ia tak pernah bercerita, pun aku yang terlalu enggan mengurusi.

Singkatnya, aku baru tahu saat anak itu hanya nyengir lebar dan pergi mejauhi halaman rumah bersama motor vespa sederhana milik kawannya yang bermata sipit, Haikal. Bibi juga sempat terheran dan mengira Dika sudah memberi tahuku pekerjaannya.

Beberapa kali mencoba, aku nyaris lupa dengan kemampuanku sendiri. Rajutan yang seharusnya sudah terbentuk, tetap menjadi gulungan benang katun dan jarum yang sama sekali tak lihai kugunakan. Kaku.

Mirisnya lagi, Bibi menunggu dengan sabar. Mendesah pasrah begitu aku gagal berulang kali. Aku mencuri-curi pandang pada Bibi dengan perasaan waswas. Khawatir bahwa raut wajahnya akan tak mengenakkan melihat betapa menyebalkan dan payahnya diriku.

Mendadak, bayangan wajah Bibi Rani seketika berubah menjadi wajah Ibu yang sedang menahan kesal dengan nilai semesterku yang lalu.

Sejak terlalu fokus menekuri belajar, aku bahkan tak begitu paham bagaimana benang dan jarum ini seharusnya bekerja. Mengingatnya pun terasa buram. Terakhir kali adalah sebelum Nenek, ibu dari Ibu meninggal. Sudah lama sekali.

"Masih enggak bisa, ya?"

Padahal, aku telah mati-matian menahan gemetar sebab telah membiarkan seseorang lama menunggu dan memperhatikanku.

"I–iya, Bi. Nila udah lupa. Maaf."

Kupaksakan senyum meski terasa kaku. Beruntungnya, Bibi Rani tak marah seperti dugaanku yang begitu buruk. Alih-alih, beliau tertawa. Mengusap kepalaku sekali. Satu hal yang masih membuat terkejut meski Bibi Rani sering melakukannya ketika aku berkunjung.

"Ya, sudah. Bibi sebenarnya cuma mau ditemenin. Alasan aja sama Dika buat bilang ke kamu kalau Ibu mau belajar merajut."

Kenapa harus belajar padaku? Bukankah sapu tangan itu Bibi sendiri yang membuat? Aku sempat bertanya-tanya dalam hati mengenai ini. Namun, tak satupun kata berhasil keluar demi menuntaskan penasaran.

"Kalau sapu tangan kemarin ... itu Dika. Bibi enggak tahu anak itu dapet dari mana."

Alisku terangkat, kemudian mengangguk. Memandangi jarum dan benang yang belum kusatukan. Kebingungan dalam kepala makin membuat pening untuk mengingat langkah-langkah yang pernah kulakukan dalam merajut.

Penyebabnya hanya satu: aku sudah lama meninggalkannya dan yang dulu kulakukan hanya sekali percobaan. Mana mungkin bisa mahir?

Di antara jingga yang merona di langit, beberapa kelelawar mulai beterbangan di antara pohon jambu dan mangga di depan rumah Dika.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang